Visit Indonesia 2009

Welcome to Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia Provinsi Bali

Sabtu, 13 September 2008

Dadang Rachmat: Radio Paling Banyak Gunakan Frekuensi Ilegal

KPID Jabar menemukan penggunaan frekuensi tanpa adanya izin siaran mayoritas dilakukan oleh lembaga penyiaran radio. "Radio secara kuantitatif adalah yang paling banyak menggunakan frekuensi tanpa adanya izin siaran," ujar Ketua KPID Jabar, Dadang Rachmat, kepada salah satu media di Bandung, Kamis (4/9).

Dadang mengatakan untuk mengetahui persis berapa jumlah radio yang melanggar, dibutuhkan ketelitian dan bukti empiris di lapangan. Karenanya, Dadang enggan mengungkapkan berapa banyak radio yang melanggar. "Berbeda ketika di lapangan dilakukan pengukuran dengan data yang didapatkan, butuh ketelitian dan bukti lapangan," jelas Dadang.

Ketika disinggung mengenai adanya surat edaran dari Menkominfo beberapa waktu lalu mengenai penertiban lembaga penyiaran baik televisi maupun radio yang tak berizin per tanggal 1 September, Dadang menuturkan bahwa instruksi itu baru sekedar imbauan kepada pengguna frekuensi tanpa berizin. Karenanya, kata dia, KPID tidak akan menentukan batas penertiban yang dilakukan.

"Bahasa kita tidak mungkin sebutkan tanggalnya. Kalau sebutkan tanggal ditakutkan hanya pada hari itu saja mereka tidak bersiaran, dan kemudian muncul lagi di hari lainnya," kata Dadang.

(Sumber : dari berbagai sumber/KPI-Kamis, 4 Sept' 2008/ Red : ARSSLI Prov. Bali)

Jumat, 22 Agustus 2008

Pengumuman Menteri Kominfo Tentang Pelaksanaan Penegakan Hukum Atas Penggunaan Frekuensi Radio Untuk Penyelenggaraan Penyiaran

Setelah cukup lama dinantikan dan dipersiapkan secara intensif dengan berbagai pihak terkait, pada tanggal 20 Agustus 2008 akhirnya Menteri Kominfo Moh. Nuh telah menanda-tangani Pengumuman Menteri Kominfo No. 196/M.KOMINFO/8/2008 tentang Pelaksanaan Penegakan Hukum Atas Penggunaan Frekuensi Radio Untuk Penyelenggaraan Penyiaran. Upaya penegakan hukum tersebut kali ini terpaksa dilakukan karena dilatar-belakangi oleh suatu kondisi tentang telah makin banyaknya kejadian ketidak-teraturan penggunaan frekuensi radio yang disebabkan banyaknya pelanggaran oleh pengguna frekuensi radio yang tidak memenuhi persyaratan teknis serta tidak dilengkapi dengan izin penggunaan frekuensi radio (ISR) pada pita frekuensi yang telah diperuntukkan untuk keperluan penyiaran televisi, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 76 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus Untuk Keperluan Televisi Siaran Analog Pada Pita Ultra High Frequency (UHF).

Meskipun penegakan hukum ini baru akan efektif mulai diberlakukan tanggal 1 September 2008, namun demikian untuk menjadi perhatian publik adalah, bahwasanya, yang akan menjadi obyek penegakan hukum ini adalah: yang menyebabkan terjadinya gangguan terhadap pengguna frekuensi radio lain yang memiliki izin penggunaan frekuensi radio; yang tidak dilengkapi dengan izin penggunaan frekuensi radio (ISR) dari Ditjen Postel; dan yang tidak dilengkapi dengan rekomendasi kelayakan (RK) dari KPI/KPID. Selanjutnya disebutkan pula dalam pengumuman tersebut, bahwa penegakan hukum tersebut akan dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Bagi yang telah memiliki RK, namun belum memiliki ISR, menggunakan frekuensi radio sesuai dengan Master Plan, dan tidak mengganggu kanal lainnya, akan diberi ISR sesuai dengan prosedur yang berlaku.
  2. Bagi yang telah memiliki RK, namun belum memiliki ISR, menggunakan frekuensi radio tidak sesuai dengan Master Plan dan tidak mengganggu kanal lainnya akan diberi ISR Sementara/Sekunder sesuai dengan prosedur yang berlaku dan pada saat digitalisasi diharuskan segera pindah ke siaran digital.
  3. Bagi yang belum memiliki RK dan ISR diharuskan menghentikan siarannya (OFF AIR).
  4. Bagi yang telah memiliki ISR dan RK, tetapi mengganggu kanal lainnya, diharuskan segera mentaati ketentuan teknis yang telah ditetapkan pada izinnya.
  5. Bagi yang telah memiliki RK, belum memiliki ISR, menggunakan frekuensi radio sesuai Master Plan tetapi mengganggu kanal lainnya, sepanjang memungkinkan diharuskan mentaati ketentuan teknis untuk mencegah terjadinya gangguan. Apabila tidak mungkin, maka diharuskan menghentikan siarannya (OFF AIR).

Oleh karena itu, untuk menghindari kemungkinan sanksi hukum yang akan dijatuhkan, bagi yang termasuk lembaga penyiaran yang dimasukkan pada kriteria telah memiliki RK, namun belum memiliki ISR, menggunakan frekuensi radio sesuai dengan Master Plan, dan tidak mengganggu kanal lainnya dan juga kriteria yang telah memiliki RK, namun belum memiliki ISR, menggunakan frekuensi radio tidak sesuai dengan Master Plan dan tidak mengganggu kanal lainnya, maka yang termasuk pada dua kelompok kriteria tersebut harus segera melakukan pendaftaran ISR ke Ditjen Postel sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Sedangkan yang termasuk kriteria yang belum memiliki RK dan ISR, yang telah memiliki ISR dan RK, tetapi mengganggu kanal lainnya, dan juga yang telah memiliki RK, belum memiliki ISR, menggunakan frekuensi radio sesuai Master Plan tetapi mengganggu kanal lainnya, maka ketiga kelompok dalam kriteria tersebut harus sudah melaksanakan ketentuan yang berlaku seperti tersebut di atas, seperti misalnya kewajiban untuk harus segera OFF AIR bagi yang sama sekali tidak memiliki RK dan ISR maupun yang sudah memiliki RK namun belum memiliki ISR dan menggunakan frekuensi seperti pada Master Plan namun mengganggu kanal lainnnya dan tidak mau mematuhi ketentuan karena pelanggarannya tersebut.

Pengumuman ini sengaja dipublikasikan secepat mungkin kepada masyarakat jauh bebeberapa hari sebelum dilakukan awal penegakan hukum (penertiban) pada tanggal 1 September 2008, dengan tujuan selain untuk memberi peringatan kepada para penyelenggara lembaga penyiaran yang akan menjadi objek penertiban untuk mempersiapkan diri dalam memenuhi persyaratan yang berlaku sesuai prosaedurnya, juga untuk menghindari kepanikan publik, karena diperkirakan akan cukup banyak lembaga penyiaran yang akan terkena kegiatan penertiban ini, sehingga hal tersebut menuntut Departemen Kominfo dan aparat penegak hukum terkait untuk melakukan upaya penegakan hukum ini secara hati-hati namun tetap mengutamakan kepatuhan hukum, karena sejauh ini toleransi yang diberikan oleh pemerintah sudah cukup panjang hingga kemudian terbit Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2008 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada bulan Juli 2007, yang memberi kekuatan hukum yang definif kepada Departemen Kominfo untuk melakukan penegakan hukum ini, karena di dalam PP tersebut di antaranya disebutkan bahwa kewenangan pengaturan frekuensi radio ada pada pemerintah pusat, mengingat sebelum ini kondisi penggunaan frekuensi radio cenderung carut marut sehingga makin banyak berdiri lembaga penyiaran yang penggunaan frekuensinya tidak mengacu pada UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, melainkan cenderung mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.

Dengan adanya PP No. 38 Tahun 2007 tersebut tidak otomatis menyebabkan Departemenn Kominfo langsung melakukan penegakan hukum. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan sosialisasi PP tersebut, koordinasi dengan KPI untuk menyamakan persepsi, dan secara terus menerus melakukan kegiatan awal penegakan hukum yang sifatnya parsial karena memang sudah tidak dapat ditunda lagi untuk memberikan efek jera dan menunjukkan keseriusan Departemen Kominfo dalam merencanakan penegakan hukum secara nasional yang bersifat masif. Penegakan hukum kali ini untuk dipahami sebagai langkah signifikan yang patut disikapi secara serius dan tidak ada maksud tujuan pemutihan perizinannya karena harus diketahui secara komprehensif status dan krieria setiap lembaga penyiaran yang menjadi obyek penegakan hukum dalam berkomitmen mematuhi ketentuan secara prosedural.

(Sumber : Siaran Pers No. 95/DJPT.1/KOMINFO/8/2008 / Red : ARSSLI Prov. Bali)

Pemerintah Siapkan Moratorium Izin TV dan Radio di Daerah Padat

Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) dalam waktu dekat akan menerbitkan Surat Edaran tentang Moratorium (penghentian untuk sementara waktu permohonan perizinan) bagi televisi dan radio, utamanya di daerah-daerah padat, sebelum diberlakukannya penyiaran digital (digital broadcating).

Kebijakan ini diambil berkait dengan banyaknya jumlah pemohon dan secara riil berkait dengan ketersediaan kanal frekuensi di daerah-daerah padat yang sesungguhnya sangat-sangat terbatas.

Demikian diungkapkan MOHAMMAD NUH Menkominfo dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI, Kamis (26/6), di Jakarta seperti dalam siaran pers Depkominfo yang diterima suarasurabaya.net.

yang sehat perlu diciptakan keseimbangan antara jumlah penyelenggara “Selain itu pemerintah berkeinginan dalam menjaga dan mengembangkan pertumbuhan industri penyiaranpenyiaran dengan jumlah iklan yang ada,” kata mantan Rektor ITS ini.

Dikatakannya, dengan kebijakan ini pemerintah berharap ada pertumbuhan industri penyiaran dan diharapkan dapat merata di seluruh wilayah nusantara. Tujuannya, selain untuk memberikan akses informasi kepada masyarakat juga dalam rangka mencerdaskan bangsa dan menumbuhkembangkan sosial-ekonomi nasional secara merata.

Nuh menyebutkan, hingga kini jumlah permohonan Izin Penyelenggaraan penyiaran (IPP) sebanyak 2.425 permohonan. Rincinya untuk jasa penyiaran radio sebanyak 2.167 dengan rincian Publik (LPP) sebanyak 109, Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) (1.707), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) (351). Sedang untuk jasa penyiaran televisi sebanyak 258 dengan rincian LPP (12), LPS (179), LPK (13), dan Lembaga Penyiaran Berbayar (LPB) sebanyak 54. (lihat table)

Diungkapkan Nuh, nanti ketika teknologi penyiaran digital diberlakukan, kendala kurangnya kanal frekuensi seperti sekarang tidak akan terjadi lagi, karena melalui penyiaran digital, masyarakat lebih berpeluang memperoleh informasi dan pendidikan di segala bidang, antara lain politik, ekonomi, sosial budaya, seni.

“Kesempatan untuk berkomunikasi menjadi lebih terbuka. Momentum penyiaran digital dapat membuka peluang yang lebih banyak bagi masyarakat dalam meningkatkan kemampuan ekonominya. Peluang usaha di bidang rumah produksi, pembuatan aplikasi audio, video, multimedia, industri sinetron, film, hiburan, komedi, dan sejenisnya menjadi potensi baru untuk menghidupkan ekonomi masyarakat,” katanya.

Selain itu, kata Nuh menambahkan, masyarakat juga memiliki kesempatan lebih banyak untuk menjadi pemasok barang dan jasa bidang radio dan televisi digital, menjadi penyedia jasa pemasangan instalasi perangkat radio dan TV digital, pembuatan program aplikasi dan kesempatan usaha lainnya.

Dalam penyelenggaraan penyiaran digital, Depkominfo saat ini sedang melakukan kajian bahwa dalam penyelenggaraan penyiaran TV digital terdiri dari network provider dan content provider, sehingga dimungkinkan dalam penyelenggaraan network provider yang jumlahnya tidak banyak namun membutuhkan investasi yang besar maka dalam penyelenggaraannya dapat dilakukan oleh konsorsium.

“Dalam waktu dekat akan dilakukan uji coba siaran (field trial) TV digital yang bertujuan untuk mengetahui aspek teknis dan non-teknis untuk dijadikan business model, prediksi kinerja perangkat, dan layanan siaran yang diharapkan oleh masyarakat dan industri penyiaran,” katanya.

Selain itu, saat ini pemerintah telah menetapkan penggunaan standar TV digital, yakni DVB-T (Digital Video Broadcast–Terrestrial) sedang standar radio digital masih dalam proses pengkajian.

“Depkominfo juga tengah menyiapkan regulasi untuk standardisasi perangkat. Sedang pemetaan kanal frekuensi untuk penyelenggaraan TV siaran digital terestrial, baik TV siaran dengan penerimaan free to air maupun TV siaran digital bergerak (mobile TV) telah selesai dilaksanakan,” katanya.

Alokasi kanal frekuensi untuk layanan TV digital penerimaan tetap free to air DVB-T di Indonesia adalah pada band IV dan V UHF, yaitu kanal 28 – 45 (total 18 kanal). Di tiap wilayah layanan diberikan jatah 6 kanal, dimana 1 kanal dapat diisi sejumlah 6 sampai 8 program siaran. Diharapkan pada tahun 2008 atau selambat–lambatnya tahun 2009 dapat dimulai era penyiaran digital di Indonesia.(ipg)

(Sumber : ANTARA 27/06/08 03:08/ Red : ARSSLI Prov. Bali)

Senin, 04 Agustus 2008

KPI dan Dewan Pers Tidak Bisa Digabung

Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara menegaskan, KPI dan Dewan Pers tidak bisa dilebur menjadi satu kelembagaan (komisi). KPI dan Dewan Pers memiliki tugas dan kewenangan yang satu sama lain berbeda. Penegasan tersebut diungkapkan Leo terkait adanya usulan amandamen UUD 45 Pasal 56 oleh DPD RI yakni dengan membentuk sebuah Komisi Negara dengan nama Komisi Kebebasan Pers yang merupakan hasil peleburan antara KPI dan Dewan Pers. ”DPD tidak memahami bahwa ada perbedaan karakteristik antara media cetak dan media elektronik. Media elektronik itu menggunakan public domain yang terbatas jumlahnya yakni frekuensi, sementara media cetak tidak. Siaran media elektronik itu masuik ke rumah tanpa diundang, berbeda dengan media cetak yang bisa kita beli atau sengaja dibawa,” kata Leo di depan peserta diskusi dengan tema ”Kemerdekaan Pers Memerlukan Proteksi Dalam Konstitusi” di Dewan Pers, Kamis (24/7). Karena itu, Leo menjelaskan, lembaga penyiaran memerlukan izin penyiaran sedangkan penerbitan pers tidak. Lembaga penyiaran diatur oleh higly state regulated, media cetak berdasarkan self regulating. “Lembaga penyiaran yang tidak netral dan memihak golongan tertentu melanggar UU Penyiaran, dapat dibredel dan bahkan izin penyiarannya akan dicabut. Sedangkan media cetak yang tidak netral dan tidak independen hanya melanggar standar keprofesionalan,” paparnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wakil Ketua KPI Pusat, Fetty Fajrati. Menurut Fetty, perbedaan karakter substansi materi antara pers dan penyiaran sudah sangat jelas di atur dalam UU Pers dan UU Penyiaran. “Masing-masing UU telah mengamanatkan pembentukan ke dua lembaga independen ini. KPI dan Dewan Pers mengawal pelaksanaan UU tersebut demi kepentingan masyarakat,” paparnya di tempat yang sama. Secara konkrit Fetty menjelaskan, KPI itu bentuk oleh UU Penyiaran, sedangkan Dewan Pers dibentuk oleh UU Pers. Anggota KPI dan KPID dipilih dan melalui uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI dan DPRD, sedangkan Dewan Pers dipilih oleh konsituen pers dan ditetapkan oleh keputusan presiden. “Anggaran KPI dan KPID dibebankan kepada APBN dan APBD, sedangkan Dewan Pers didapat dari bantuan negara, perusahaan pers, organisasi pers yang sifatnya tidak mengikat. KPI mengamanatkan PP, adapun Dewan Pers tidak,” jelasnya. Meskpun demikian, Fetty menyatakan, KPI bukanlah lembaga yang alergi terhadap adanya usulan revisi undang-undang yang terkait. KPI, menurutnya, selalu menerima setiap masukan yang datang. Tekait persoalan tersebut, Menurut Fetty dan Leo, yang paling penting dilakukan ke depan nanti adalah pengadaan payung hukum atas kemerdekaan pers dalam UUD 45. Konkritnya, yakni pengembangan pada Pasal 28 F UUD 1945. Dalam diskusi tersebut hadir pula pakar hukum, Frans H. Winarta. Sayangnya, anggota DPD, La Ode Ida, yang mesti hadir sebagai narasumber, tidak jadi datang.

(Sumber : KPI -
Kamis, 24 Juli 2008 / Red - ARSSLI Bali 4 Agustus 2008)

Fetty Fajriati: Perlu Ada Revisi P3 dan SPS

Wakil Ketua KPI Pusat, Fetty Fajriati mengusulkan, KPI perlu merevisi Peraturan KPI No.02/2007 tentang P3 dan Peraturan KPI No 03/2007 tentang SPS. Hal itu dinyatakannya pada laporan pertanggungjawaban isi siaran KPI Pusat pada Rakornas KPI di Batam, Rabu (16/7).

Untuk itu, kata Fetty, beberapa masukan untuk revisi dari individual masyarakat, kelompok masyarakat, civil society, kelompok konsumen dan lembaga penyiaran baik individual dan asosiasi sangat dibutuhkan KPI.

KPI juga diharapkan membentuk tim kerja secara khusus untuk melakukan kajian lebih menyeluruh atas dampak dari tayangan-tayangan yang ada sehingga bisa digunakan sebagai materi revisi kedua peraturan.

Fetty beralasan, revisi diperlukan karena beberapa pasal yang ada dalam peraturan tersebut belum dapat secara maksimal diterapkan terhadap tayangan-tayangan yang disiarkan oleh Lembaga Penyiaran.

Seperti yang ada dalam aturan SPS, Pasal 28 – 32. Pasal-pasal itu, jelas Fetty, tidak dapat diterapkan pada acara hiburan (film, sinetron dan variety show) karena pasal-pasal di atas untuk Pemberitaan Kekerasan. Seharusnya Pasal-pasal ini diperlakukan untuk semua acara tayangan bukan hanya untuk berita. Sehingga, lanjut Fetty, judulnya harus disesuaikan dari ‘Pemberitaan’ menjadi ‘Penayangan”.

Kemudian, pada pasal 18 – 19. Pasal-pasal ini tidak dapat diterapkan pada acara hiburan (film, sinetron, variety show, dll). Pasalnya, pasal-pasal ini tidak untuk program siaran seks (walaupun tidak jelas juga, apa yang dimaksud dengan “Program Siaran Seks”). Seharusnya, pasal-pasal ini diperlakukan untuk semua acara tayangan, tidak hanya untuk program siaran seks. Sehingga judulnya disesuaikan bukan ‘Pemberitaan’ tapi menjadi ‘Penayangan”.

Selanjutnya, kata Fetty, pada pasal 8 dan pasal 12 mengenai pelecehan. Kedua pasal tidak secara spesifik menyebutkan larangan pelecahan tersebut. Akhirnya yang dapat diterapkan adalah pasal 11 (tentang Pelanggaran Kesopanan dan Kesusilaan). Menurut Fetty, pelecehan terhadap profesi ini perlu diatur, karena cukup banyak acara yang memuat pelecahan terhadap jenis pekerjaan ini (biasanya komedi). Sehingga judulnya disesuaikan dari ‘Pemberitaan’ menjadi ‘Penayangan”.

Dalam kesempatan akhir, Fetty juga menekankan perlu dilakukannya program kerja oleh KPI Pusat bersama KPID dan/atau kelompok masyarakat dan/atau media watch dan/atau bekerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka sosialisasi atas P3 dan SPS di seluruh wilayah Indonesia.

(Sumber : KPI - Kamis, 17 Juli 2008 / Red - ARSSLI Bali 4 Agustus 2008)

Proses FRB Mesti Dipercepat

KPI berharap proses forum rapat bersama (FRB) lembaga-lembaga penyiaran yang sudah melalui tahap Pra-FRB dipercepat oleh pemerintah cq Depkominfo. Percepatan ini dalam upaya memberikan kepastian hukum pada lembaga penyiaran yang sudah melakukan proses permohonan izin cukup lama dengan KPI. Hal itu diungkapkan anggota KPI Pusat, Amar Ahmad, disela-sela rapat antara KPI dan Depkominfo, di Hotel Red Top, Selasa (22/07). “Ada beberapa daerah, empat atau tujuh, yang tidak bermasalah dan sudah mendapatkan rekomendasi kelayakan dari KPI yang saya kira bisa dilakukan proses FRB, tetapi sayangnya proses FRB-nya belum bisa dilaksanakan,” tegas Amar disaksikan oleh Direktur Frekuensi Ditjen Postel, Tulus Rahardjo. Faktor lambannya proses FRB lembaga penyiaran di beberapa daerah disebabkan oleh belum ditetapkannya peraturan menteri yang salah satu isinya mengenai mekanisme seleksi mendapatkan kanal siaran. Ada sinyalemen dari pemerintah bahwa permen tersebut akan ditandatangani Menkominfo pada 26 Juli nanti. Jika permen tersebut jadi ditandatangani tepat waktu, Amar memberikan usulan agar mekanisme proses FRB yang tertunda dapat dilakukan secara marathon. “Bila perlu kita melakukan proses Pra-FRB dan FRB dalam sepekan dua kali atau lebih dari itu,” jelasnya. Amar juga menjelaskan bahwa kondisi seperti ini (lambannya prsoes perizinan) bisa menjadi pukulan balik buat Pemerintah dan KPI. Lembaga penyiaran yang sudah mendapatkan rekomendasi kelayakan dari KPI bisa melakukan tuntutan atas kelambatan proses perizinan lembaga penyiarannya. Dukungan mengenai percepatan proses FRB juga dinyatakan oleh Wakil Ketua KPI Pusat, Fetty Fajriati. Menurutnya, lembaga-lembaga penyiaran yang sudah melakukan proses perizinan sejak lama sangat menantikan kepastian hukum lembaga penyiarannya.
( Sumber : Red. KPI
Selasa, 22 Juli 2008/ Red - ARSSLI Bali 4 Agustus 2008 )

Selasa, 29 Juli 2008

Puluhan Radio dan Televisi Tak Berijin di Bali Ditertibkan

Denpasar - Puluhan lembaga penyiaran radio dan stasiun televisi yang telah menggunakan kanal atau frekuensi tertentu di Bali, namun belum menempuh prosedur perijinan, segera ditertibkan oleh tim gabungan. Dari 60 radio yang mengudara di daerah itu, baru 23 yang berijin, kata Kepala Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Denpasar, Ir Slamet Wibowo, MM di Denpasar, Rabu.

Ketika ditemui ANTARA seusai pelantikan tujuh anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali, pimpinan salah satu UPT Ditjen Postel, Depkominfo itu menyebutkan, sebagian besar radio siaran berada di Denpasar. Di ibukota Propinsi Bali ini terdapat 16 stasiun radio berijin, dua menduduki kanal tertentu dan delapan radio siaran beroperasi secara liar. Stasiun Radio Polda Bali di Denpasar yang juga belum menempuh prosedur perijinan, memilih menghentikan sementara siarannya. "Mudah-mudahan ini bisa menjadi contoh stasiun radio lainnya," katanya.

Kemudian untuk stasiun televisi, dari tiga yang sudah mengudara, kata Slamet Wibowo, baru Bali TV yang sudah menempuh prosedur perijinan, namun baru sampai tahap Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) di KPID. Hasil EDP itu kemudian disampaikan ke Departemen Komunikasi dan Informatika, untuk diproses pada tahap Forum Rapat Bersama (FRB) dan menunggu penerbitan izin dari Menkominfo. Jimbarwana TV milik Pemkab Jembrana, kata Slamet Wibowo, telah dua kali diperingatkan karena menggunakan kanal milik wilayah utara Bali, Kabupaten Buleleng. Pihak Pemkab Jembrana, dalam hal ini dari Badan Informasi Daerah, telah datang dan meminta bimbingan menempuh prosedur perijinan, namun sejauh ini belum ada perkembangan. Sementara Dewata TV di Denpasar, baru sekali diberi surat peringatan, namun menurut dia belum memberikan respon. Direktur Dewata TV, Ketut Sumerta, ketika dikonfirmasi menyatakan pihaknya telah melalui prosedur "EDP" sejak KPID Bali periode lama, namun diakui sejauh ini belum ada perkembangannya. "Kami segera mengklarifikasi masalah ini, agar tidak sampai terkena penertiban," ujarnya.

Menurut Slamet Wibowo, tim penertiban gabungan bakal melibatkan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dari instansinya, pihak kepolisian, kejaksaan, Denpom dan KPID yang anggotanya baru dilantik. "Kami berharap dukungan masyarakat luas dalam upaya penertiban kanal radio siaran dan stasiun televisi yang segera diterjunkan," tambahnya.

(Sumber dikutip : ANTARA News 26/03/08 / Red - ARSSLI Bali 29 Juli 2008)