Visit Indonesia 2009

Welcome to Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia Provinsi Bali

Senin, 04 Agustus 2008

KPI dan Dewan Pers Tidak Bisa Digabung

Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara menegaskan, KPI dan Dewan Pers tidak bisa dilebur menjadi satu kelembagaan (komisi). KPI dan Dewan Pers memiliki tugas dan kewenangan yang satu sama lain berbeda. Penegasan tersebut diungkapkan Leo terkait adanya usulan amandamen UUD 45 Pasal 56 oleh DPD RI yakni dengan membentuk sebuah Komisi Negara dengan nama Komisi Kebebasan Pers yang merupakan hasil peleburan antara KPI dan Dewan Pers. ”DPD tidak memahami bahwa ada perbedaan karakteristik antara media cetak dan media elektronik. Media elektronik itu menggunakan public domain yang terbatas jumlahnya yakni frekuensi, sementara media cetak tidak. Siaran media elektronik itu masuik ke rumah tanpa diundang, berbeda dengan media cetak yang bisa kita beli atau sengaja dibawa,” kata Leo di depan peserta diskusi dengan tema ”Kemerdekaan Pers Memerlukan Proteksi Dalam Konstitusi” di Dewan Pers, Kamis (24/7). Karena itu, Leo menjelaskan, lembaga penyiaran memerlukan izin penyiaran sedangkan penerbitan pers tidak. Lembaga penyiaran diatur oleh higly state regulated, media cetak berdasarkan self regulating. “Lembaga penyiaran yang tidak netral dan memihak golongan tertentu melanggar UU Penyiaran, dapat dibredel dan bahkan izin penyiarannya akan dicabut. Sedangkan media cetak yang tidak netral dan tidak independen hanya melanggar standar keprofesionalan,” paparnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wakil Ketua KPI Pusat, Fetty Fajrati. Menurut Fetty, perbedaan karakter substansi materi antara pers dan penyiaran sudah sangat jelas di atur dalam UU Pers dan UU Penyiaran. “Masing-masing UU telah mengamanatkan pembentukan ke dua lembaga independen ini. KPI dan Dewan Pers mengawal pelaksanaan UU tersebut demi kepentingan masyarakat,” paparnya di tempat yang sama. Secara konkrit Fetty menjelaskan, KPI itu bentuk oleh UU Penyiaran, sedangkan Dewan Pers dibentuk oleh UU Pers. Anggota KPI dan KPID dipilih dan melalui uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI dan DPRD, sedangkan Dewan Pers dipilih oleh konsituen pers dan ditetapkan oleh keputusan presiden. “Anggaran KPI dan KPID dibebankan kepada APBN dan APBD, sedangkan Dewan Pers didapat dari bantuan negara, perusahaan pers, organisasi pers yang sifatnya tidak mengikat. KPI mengamanatkan PP, adapun Dewan Pers tidak,” jelasnya. Meskpun demikian, Fetty menyatakan, KPI bukanlah lembaga yang alergi terhadap adanya usulan revisi undang-undang yang terkait. KPI, menurutnya, selalu menerima setiap masukan yang datang. Tekait persoalan tersebut, Menurut Fetty dan Leo, yang paling penting dilakukan ke depan nanti adalah pengadaan payung hukum atas kemerdekaan pers dalam UUD 45. Konkritnya, yakni pengembangan pada Pasal 28 F UUD 1945. Dalam diskusi tersebut hadir pula pakar hukum, Frans H. Winarta. Sayangnya, anggota DPD, La Ode Ida, yang mesti hadir sebagai narasumber, tidak jadi datang.

(Sumber : KPI -
Kamis, 24 Juli 2008 / Red - ARSSLI Bali 4 Agustus 2008)

Tidak ada komentar: