Visit Indonesia 2009

Welcome to Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia Provinsi Bali

Sabtu, 13 September 2008

Dadang Rachmat: Radio Paling Banyak Gunakan Frekuensi Ilegal

KPID Jabar menemukan penggunaan frekuensi tanpa adanya izin siaran mayoritas dilakukan oleh lembaga penyiaran radio. "Radio secara kuantitatif adalah yang paling banyak menggunakan frekuensi tanpa adanya izin siaran," ujar Ketua KPID Jabar, Dadang Rachmat, kepada salah satu media di Bandung, Kamis (4/9).

Dadang mengatakan untuk mengetahui persis berapa jumlah radio yang melanggar, dibutuhkan ketelitian dan bukti empiris di lapangan. Karenanya, Dadang enggan mengungkapkan berapa banyak radio yang melanggar. "Berbeda ketika di lapangan dilakukan pengukuran dengan data yang didapatkan, butuh ketelitian dan bukti lapangan," jelas Dadang.

Ketika disinggung mengenai adanya surat edaran dari Menkominfo beberapa waktu lalu mengenai penertiban lembaga penyiaran baik televisi maupun radio yang tak berizin per tanggal 1 September, Dadang menuturkan bahwa instruksi itu baru sekedar imbauan kepada pengguna frekuensi tanpa berizin. Karenanya, kata dia, KPID tidak akan menentukan batas penertiban yang dilakukan.

"Bahasa kita tidak mungkin sebutkan tanggalnya. Kalau sebutkan tanggal ditakutkan hanya pada hari itu saja mereka tidak bersiaran, dan kemudian muncul lagi di hari lainnya," kata Dadang.

(Sumber : dari berbagai sumber/KPI-Kamis, 4 Sept' 2008/ Red : ARSSLI Prov. Bali)

Jumat, 22 Agustus 2008

Pengumuman Menteri Kominfo Tentang Pelaksanaan Penegakan Hukum Atas Penggunaan Frekuensi Radio Untuk Penyelenggaraan Penyiaran

Setelah cukup lama dinantikan dan dipersiapkan secara intensif dengan berbagai pihak terkait, pada tanggal 20 Agustus 2008 akhirnya Menteri Kominfo Moh. Nuh telah menanda-tangani Pengumuman Menteri Kominfo No. 196/M.KOMINFO/8/2008 tentang Pelaksanaan Penegakan Hukum Atas Penggunaan Frekuensi Radio Untuk Penyelenggaraan Penyiaran. Upaya penegakan hukum tersebut kali ini terpaksa dilakukan karena dilatar-belakangi oleh suatu kondisi tentang telah makin banyaknya kejadian ketidak-teraturan penggunaan frekuensi radio yang disebabkan banyaknya pelanggaran oleh pengguna frekuensi radio yang tidak memenuhi persyaratan teknis serta tidak dilengkapi dengan izin penggunaan frekuensi radio (ISR) pada pita frekuensi yang telah diperuntukkan untuk keperluan penyiaran televisi, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 76 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus Untuk Keperluan Televisi Siaran Analog Pada Pita Ultra High Frequency (UHF).

Meskipun penegakan hukum ini baru akan efektif mulai diberlakukan tanggal 1 September 2008, namun demikian untuk menjadi perhatian publik adalah, bahwasanya, yang akan menjadi obyek penegakan hukum ini adalah: yang menyebabkan terjadinya gangguan terhadap pengguna frekuensi radio lain yang memiliki izin penggunaan frekuensi radio; yang tidak dilengkapi dengan izin penggunaan frekuensi radio (ISR) dari Ditjen Postel; dan yang tidak dilengkapi dengan rekomendasi kelayakan (RK) dari KPI/KPID. Selanjutnya disebutkan pula dalam pengumuman tersebut, bahwa penegakan hukum tersebut akan dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Bagi yang telah memiliki RK, namun belum memiliki ISR, menggunakan frekuensi radio sesuai dengan Master Plan, dan tidak mengganggu kanal lainnya, akan diberi ISR sesuai dengan prosedur yang berlaku.
  2. Bagi yang telah memiliki RK, namun belum memiliki ISR, menggunakan frekuensi radio tidak sesuai dengan Master Plan dan tidak mengganggu kanal lainnya akan diberi ISR Sementara/Sekunder sesuai dengan prosedur yang berlaku dan pada saat digitalisasi diharuskan segera pindah ke siaran digital.
  3. Bagi yang belum memiliki RK dan ISR diharuskan menghentikan siarannya (OFF AIR).
  4. Bagi yang telah memiliki ISR dan RK, tetapi mengganggu kanal lainnya, diharuskan segera mentaati ketentuan teknis yang telah ditetapkan pada izinnya.
  5. Bagi yang telah memiliki RK, belum memiliki ISR, menggunakan frekuensi radio sesuai Master Plan tetapi mengganggu kanal lainnya, sepanjang memungkinkan diharuskan mentaati ketentuan teknis untuk mencegah terjadinya gangguan. Apabila tidak mungkin, maka diharuskan menghentikan siarannya (OFF AIR).

Oleh karena itu, untuk menghindari kemungkinan sanksi hukum yang akan dijatuhkan, bagi yang termasuk lembaga penyiaran yang dimasukkan pada kriteria telah memiliki RK, namun belum memiliki ISR, menggunakan frekuensi radio sesuai dengan Master Plan, dan tidak mengganggu kanal lainnya dan juga kriteria yang telah memiliki RK, namun belum memiliki ISR, menggunakan frekuensi radio tidak sesuai dengan Master Plan dan tidak mengganggu kanal lainnya, maka yang termasuk pada dua kelompok kriteria tersebut harus segera melakukan pendaftaran ISR ke Ditjen Postel sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Sedangkan yang termasuk kriteria yang belum memiliki RK dan ISR, yang telah memiliki ISR dan RK, tetapi mengganggu kanal lainnya, dan juga yang telah memiliki RK, belum memiliki ISR, menggunakan frekuensi radio sesuai Master Plan tetapi mengganggu kanal lainnya, maka ketiga kelompok dalam kriteria tersebut harus sudah melaksanakan ketentuan yang berlaku seperti tersebut di atas, seperti misalnya kewajiban untuk harus segera OFF AIR bagi yang sama sekali tidak memiliki RK dan ISR maupun yang sudah memiliki RK namun belum memiliki ISR dan menggunakan frekuensi seperti pada Master Plan namun mengganggu kanal lainnnya dan tidak mau mematuhi ketentuan karena pelanggarannya tersebut.

Pengumuman ini sengaja dipublikasikan secepat mungkin kepada masyarakat jauh bebeberapa hari sebelum dilakukan awal penegakan hukum (penertiban) pada tanggal 1 September 2008, dengan tujuan selain untuk memberi peringatan kepada para penyelenggara lembaga penyiaran yang akan menjadi objek penertiban untuk mempersiapkan diri dalam memenuhi persyaratan yang berlaku sesuai prosaedurnya, juga untuk menghindari kepanikan publik, karena diperkirakan akan cukup banyak lembaga penyiaran yang akan terkena kegiatan penertiban ini, sehingga hal tersebut menuntut Departemen Kominfo dan aparat penegak hukum terkait untuk melakukan upaya penegakan hukum ini secara hati-hati namun tetap mengutamakan kepatuhan hukum, karena sejauh ini toleransi yang diberikan oleh pemerintah sudah cukup panjang hingga kemudian terbit Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2008 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada bulan Juli 2007, yang memberi kekuatan hukum yang definif kepada Departemen Kominfo untuk melakukan penegakan hukum ini, karena di dalam PP tersebut di antaranya disebutkan bahwa kewenangan pengaturan frekuensi radio ada pada pemerintah pusat, mengingat sebelum ini kondisi penggunaan frekuensi radio cenderung carut marut sehingga makin banyak berdiri lembaga penyiaran yang penggunaan frekuensinya tidak mengacu pada UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, melainkan cenderung mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.

Dengan adanya PP No. 38 Tahun 2007 tersebut tidak otomatis menyebabkan Departemenn Kominfo langsung melakukan penegakan hukum. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan sosialisasi PP tersebut, koordinasi dengan KPI untuk menyamakan persepsi, dan secara terus menerus melakukan kegiatan awal penegakan hukum yang sifatnya parsial karena memang sudah tidak dapat ditunda lagi untuk memberikan efek jera dan menunjukkan keseriusan Departemen Kominfo dalam merencanakan penegakan hukum secara nasional yang bersifat masif. Penegakan hukum kali ini untuk dipahami sebagai langkah signifikan yang patut disikapi secara serius dan tidak ada maksud tujuan pemutihan perizinannya karena harus diketahui secara komprehensif status dan krieria setiap lembaga penyiaran yang menjadi obyek penegakan hukum dalam berkomitmen mematuhi ketentuan secara prosedural.

(Sumber : Siaran Pers No. 95/DJPT.1/KOMINFO/8/2008 / Red : ARSSLI Prov. Bali)

Pemerintah Siapkan Moratorium Izin TV dan Radio di Daerah Padat

Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) dalam waktu dekat akan menerbitkan Surat Edaran tentang Moratorium (penghentian untuk sementara waktu permohonan perizinan) bagi televisi dan radio, utamanya di daerah-daerah padat, sebelum diberlakukannya penyiaran digital (digital broadcating).

Kebijakan ini diambil berkait dengan banyaknya jumlah pemohon dan secara riil berkait dengan ketersediaan kanal frekuensi di daerah-daerah padat yang sesungguhnya sangat-sangat terbatas.

Demikian diungkapkan MOHAMMAD NUH Menkominfo dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI, Kamis (26/6), di Jakarta seperti dalam siaran pers Depkominfo yang diterima suarasurabaya.net.

yang sehat perlu diciptakan keseimbangan antara jumlah penyelenggara “Selain itu pemerintah berkeinginan dalam menjaga dan mengembangkan pertumbuhan industri penyiaranpenyiaran dengan jumlah iklan yang ada,” kata mantan Rektor ITS ini.

Dikatakannya, dengan kebijakan ini pemerintah berharap ada pertumbuhan industri penyiaran dan diharapkan dapat merata di seluruh wilayah nusantara. Tujuannya, selain untuk memberikan akses informasi kepada masyarakat juga dalam rangka mencerdaskan bangsa dan menumbuhkembangkan sosial-ekonomi nasional secara merata.

Nuh menyebutkan, hingga kini jumlah permohonan Izin Penyelenggaraan penyiaran (IPP) sebanyak 2.425 permohonan. Rincinya untuk jasa penyiaran radio sebanyak 2.167 dengan rincian Publik (LPP) sebanyak 109, Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) (1.707), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) (351). Sedang untuk jasa penyiaran televisi sebanyak 258 dengan rincian LPP (12), LPS (179), LPK (13), dan Lembaga Penyiaran Berbayar (LPB) sebanyak 54. (lihat table)

Diungkapkan Nuh, nanti ketika teknologi penyiaran digital diberlakukan, kendala kurangnya kanal frekuensi seperti sekarang tidak akan terjadi lagi, karena melalui penyiaran digital, masyarakat lebih berpeluang memperoleh informasi dan pendidikan di segala bidang, antara lain politik, ekonomi, sosial budaya, seni.

“Kesempatan untuk berkomunikasi menjadi lebih terbuka. Momentum penyiaran digital dapat membuka peluang yang lebih banyak bagi masyarakat dalam meningkatkan kemampuan ekonominya. Peluang usaha di bidang rumah produksi, pembuatan aplikasi audio, video, multimedia, industri sinetron, film, hiburan, komedi, dan sejenisnya menjadi potensi baru untuk menghidupkan ekonomi masyarakat,” katanya.

Selain itu, kata Nuh menambahkan, masyarakat juga memiliki kesempatan lebih banyak untuk menjadi pemasok barang dan jasa bidang radio dan televisi digital, menjadi penyedia jasa pemasangan instalasi perangkat radio dan TV digital, pembuatan program aplikasi dan kesempatan usaha lainnya.

Dalam penyelenggaraan penyiaran digital, Depkominfo saat ini sedang melakukan kajian bahwa dalam penyelenggaraan penyiaran TV digital terdiri dari network provider dan content provider, sehingga dimungkinkan dalam penyelenggaraan network provider yang jumlahnya tidak banyak namun membutuhkan investasi yang besar maka dalam penyelenggaraannya dapat dilakukan oleh konsorsium.

“Dalam waktu dekat akan dilakukan uji coba siaran (field trial) TV digital yang bertujuan untuk mengetahui aspek teknis dan non-teknis untuk dijadikan business model, prediksi kinerja perangkat, dan layanan siaran yang diharapkan oleh masyarakat dan industri penyiaran,” katanya.

Selain itu, saat ini pemerintah telah menetapkan penggunaan standar TV digital, yakni DVB-T (Digital Video Broadcast–Terrestrial) sedang standar radio digital masih dalam proses pengkajian.

“Depkominfo juga tengah menyiapkan regulasi untuk standardisasi perangkat. Sedang pemetaan kanal frekuensi untuk penyelenggaraan TV siaran digital terestrial, baik TV siaran dengan penerimaan free to air maupun TV siaran digital bergerak (mobile TV) telah selesai dilaksanakan,” katanya.

Alokasi kanal frekuensi untuk layanan TV digital penerimaan tetap free to air DVB-T di Indonesia adalah pada band IV dan V UHF, yaitu kanal 28 – 45 (total 18 kanal). Di tiap wilayah layanan diberikan jatah 6 kanal, dimana 1 kanal dapat diisi sejumlah 6 sampai 8 program siaran. Diharapkan pada tahun 2008 atau selambat–lambatnya tahun 2009 dapat dimulai era penyiaran digital di Indonesia.(ipg)

(Sumber : ANTARA 27/06/08 03:08/ Red : ARSSLI Prov. Bali)

Senin, 04 Agustus 2008

KPI dan Dewan Pers Tidak Bisa Digabung

Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara menegaskan, KPI dan Dewan Pers tidak bisa dilebur menjadi satu kelembagaan (komisi). KPI dan Dewan Pers memiliki tugas dan kewenangan yang satu sama lain berbeda. Penegasan tersebut diungkapkan Leo terkait adanya usulan amandamen UUD 45 Pasal 56 oleh DPD RI yakni dengan membentuk sebuah Komisi Negara dengan nama Komisi Kebebasan Pers yang merupakan hasil peleburan antara KPI dan Dewan Pers. ”DPD tidak memahami bahwa ada perbedaan karakteristik antara media cetak dan media elektronik. Media elektronik itu menggunakan public domain yang terbatas jumlahnya yakni frekuensi, sementara media cetak tidak. Siaran media elektronik itu masuik ke rumah tanpa diundang, berbeda dengan media cetak yang bisa kita beli atau sengaja dibawa,” kata Leo di depan peserta diskusi dengan tema ”Kemerdekaan Pers Memerlukan Proteksi Dalam Konstitusi” di Dewan Pers, Kamis (24/7). Karena itu, Leo menjelaskan, lembaga penyiaran memerlukan izin penyiaran sedangkan penerbitan pers tidak. Lembaga penyiaran diatur oleh higly state regulated, media cetak berdasarkan self regulating. “Lembaga penyiaran yang tidak netral dan memihak golongan tertentu melanggar UU Penyiaran, dapat dibredel dan bahkan izin penyiarannya akan dicabut. Sedangkan media cetak yang tidak netral dan tidak independen hanya melanggar standar keprofesionalan,” paparnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wakil Ketua KPI Pusat, Fetty Fajrati. Menurut Fetty, perbedaan karakter substansi materi antara pers dan penyiaran sudah sangat jelas di atur dalam UU Pers dan UU Penyiaran. “Masing-masing UU telah mengamanatkan pembentukan ke dua lembaga independen ini. KPI dan Dewan Pers mengawal pelaksanaan UU tersebut demi kepentingan masyarakat,” paparnya di tempat yang sama. Secara konkrit Fetty menjelaskan, KPI itu bentuk oleh UU Penyiaran, sedangkan Dewan Pers dibentuk oleh UU Pers. Anggota KPI dan KPID dipilih dan melalui uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI dan DPRD, sedangkan Dewan Pers dipilih oleh konsituen pers dan ditetapkan oleh keputusan presiden. “Anggaran KPI dan KPID dibebankan kepada APBN dan APBD, sedangkan Dewan Pers didapat dari bantuan negara, perusahaan pers, organisasi pers yang sifatnya tidak mengikat. KPI mengamanatkan PP, adapun Dewan Pers tidak,” jelasnya. Meskpun demikian, Fetty menyatakan, KPI bukanlah lembaga yang alergi terhadap adanya usulan revisi undang-undang yang terkait. KPI, menurutnya, selalu menerima setiap masukan yang datang. Tekait persoalan tersebut, Menurut Fetty dan Leo, yang paling penting dilakukan ke depan nanti adalah pengadaan payung hukum atas kemerdekaan pers dalam UUD 45. Konkritnya, yakni pengembangan pada Pasal 28 F UUD 1945. Dalam diskusi tersebut hadir pula pakar hukum, Frans H. Winarta. Sayangnya, anggota DPD, La Ode Ida, yang mesti hadir sebagai narasumber, tidak jadi datang.

(Sumber : KPI -
Kamis, 24 Juli 2008 / Red - ARSSLI Bali 4 Agustus 2008)

Fetty Fajriati: Perlu Ada Revisi P3 dan SPS

Wakil Ketua KPI Pusat, Fetty Fajriati mengusulkan, KPI perlu merevisi Peraturan KPI No.02/2007 tentang P3 dan Peraturan KPI No 03/2007 tentang SPS. Hal itu dinyatakannya pada laporan pertanggungjawaban isi siaran KPI Pusat pada Rakornas KPI di Batam, Rabu (16/7).

Untuk itu, kata Fetty, beberapa masukan untuk revisi dari individual masyarakat, kelompok masyarakat, civil society, kelompok konsumen dan lembaga penyiaran baik individual dan asosiasi sangat dibutuhkan KPI.

KPI juga diharapkan membentuk tim kerja secara khusus untuk melakukan kajian lebih menyeluruh atas dampak dari tayangan-tayangan yang ada sehingga bisa digunakan sebagai materi revisi kedua peraturan.

Fetty beralasan, revisi diperlukan karena beberapa pasal yang ada dalam peraturan tersebut belum dapat secara maksimal diterapkan terhadap tayangan-tayangan yang disiarkan oleh Lembaga Penyiaran.

Seperti yang ada dalam aturan SPS, Pasal 28 – 32. Pasal-pasal itu, jelas Fetty, tidak dapat diterapkan pada acara hiburan (film, sinetron dan variety show) karena pasal-pasal di atas untuk Pemberitaan Kekerasan. Seharusnya Pasal-pasal ini diperlakukan untuk semua acara tayangan bukan hanya untuk berita. Sehingga, lanjut Fetty, judulnya harus disesuaikan dari ‘Pemberitaan’ menjadi ‘Penayangan”.

Kemudian, pada pasal 18 – 19. Pasal-pasal ini tidak dapat diterapkan pada acara hiburan (film, sinetron, variety show, dll). Pasalnya, pasal-pasal ini tidak untuk program siaran seks (walaupun tidak jelas juga, apa yang dimaksud dengan “Program Siaran Seks”). Seharusnya, pasal-pasal ini diperlakukan untuk semua acara tayangan, tidak hanya untuk program siaran seks. Sehingga judulnya disesuaikan bukan ‘Pemberitaan’ tapi menjadi ‘Penayangan”.

Selanjutnya, kata Fetty, pada pasal 8 dan pasal 12 mengenai pelecehan. Kedua pasal tidak secara spesifik menyebutkan larangan pelecahan tersebut. Akhirnya yang dapat diterapkan adalah pasal 11 (tentang Pelanggaran Kesopanan dan Kesusilaan). Menurut Fetty, pelecehan terhadap profesi ini perlu diatur, karena cukup banyak acara yang memuat pelecahan terhadap jenis pekerjaan ini (biasanya komedi). Sehingga judulnya disesuaikan dari ‘Pemberitaan’ menjadi ‘Penayangan”.

Dalam kesempatan akhir, Fetty juga menekankan perlu dilakukannya program kerja oleh KPI Pusat bersama KPID dan/atau kelompok masyarakat dan/atau media watch dan/atau bekerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka sosialisasi atas P3 dan SPS di seluruh wilayah Indonesia.

(Sumber : KPI - Kamis, 17 Juli 2008 / Red - ARSSLI Bali 4 Agustus 2008)

Proses FRB Mesti Dipercepat

KPI berharap proses forum rapat bersama (FRB) lembaga-lembaga penyiaran yang sudah melalui tahap Pra-FRB dipercepat oleh pemerintah cq Depkominfo. Percepatan ini dalam upaya memberikan kepastian hukum pada lembaga penyiaran yang sudah melakukan proses permohonan izin cukup lama dengan KPI. Hal itu diungkapkan anggota KPI Pusat, Amar Ahmad, disela-sela rapat antara KPI dan Depkominfo, di Hotel Red Top, Selasa (22/07). “Ada beberapa daerah, empat atau tujuh, yang tidak bermasalah dan sudah mendapatkan rekomendasi kelayakan dari KPI yang saya kira bisa dilakukan proses FRB, tetapi sayangnya proses FRB-nya belum bisa dilaksanakan,” tegas Amar disaksikan oleh Direktur Frekuensi Ditjen Postel, Tulus Rahardjo. Faktor lambannya proses FRB lembaga penyiaran di beberapa daerah disebabkan oleh belum ditetapkannya peraturan menteri yang salah satu isinya mengenai mekanisme seleksi mendapatkan kanal siaran. Ada sinyalemen dari pemerintah bahwa permen tersebut akan ditandatangani Menkominfo pada 26 Juli nanti. Jika permen tersebut jadi ditandatangani tepat waktu, Amar memberikan usulan agar mekanisme proses FRB yang tertunda dapat dilakukan secara marathon. “Bila perlu kita melakukan proses Pra-FRB dan FRB dalam sepekan dua kali atau lebih dari itu,” jelasnya. Amar juga menjelaskan bahwa kondisi seperti ini (lambannya prsoes perizinan) bisa menjadi pukulan balik buat Pemerintah dan KPI. Lembaga penyiaran yang sudah mendapatkan rekomendasi kelayakan dari KPI bisa melakukan tuntutan atas kelambatan proses perizinan lembaga penyiarannya. Dukungan mengenai percepatan proses FRB juga dinyatakan oleh Wakil Ketua KPI Pusat, Fetty Fajriati. Menurutnya, lembaga-lembaga penyiaran yang sudah melakukan proses perizinan sejak lama sangat menantikan kepastian hukum lembaga penyiarannya.
( Sumber : Red. KPI
Selasa, 22 Juli 2008/ Red - ARSSLI Bali 4 Agustus 2008 )

Selasa, 29 Juli 2008

Puluhan Radio dan Televisi Tak Berijin di Bali Ditertibkan

Denpasar - Puluhan lembaga penyiaran radio dan stasiun televisi yang telah menggunakan kanal atau frekuensi tertentu di Bali, namun belum menempuh prosedur perijinan, segera ditertibkan oleh tim gabungan. Dari 60 radio yang mengudara di daerah itu, baru 23 yang berijin, kata Kepala Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Denpasar, Ir Slamet Wibowo, MM di Denpasar, Rabu.

Ketika ditemui ANTARA seusai pelantikan tujuh anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali, pimpinan salah satu UPT Ditjen Postel, Depkominfo itu menyebutkan, sebagian besar radio siaran berada di Denpasar. Di ibukota Propinsi Bali ini terdapat 16 stasiun radio berijin, dua menduduki kanal tertentu dan delapan radio siaran beroperasi secara liar. Stasiun Radio Polda Bali di Denpasar yang juga belum menempuh prosedur perijinan, memilih menghentikan sementara siarannya. "Mudah-mudahan ini bisa menjadi contoh stasiun radio lainnya," katanya.

Kemudian untuk stasiun televisi, dari tiga yang sudah mengudara, kata Slamet Wibowo, baru Bali TV yang sudah menempuh prosedur perijinan, namun baru sampai tahap Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) di KPID. Hasil EDP itu kemudian disampaikan ke Departemen Komunikasi dan Informatika, untuk diproses pada tahap Forum Rapat Bersama (FRB) dan menunggu penerbitan izin dari Menkominfo. Jimbarwana TV milik Pemkab Jembrana, kata Slamet Wibowo, telah dua kali diperingatkan karena menggunakan kanal milik wilayah utara Bali, Kabupaten Buleleng. Pihak Pemkab Jembrana, dalam hal ini dari Badan Informasi Daerah, telah datang dan meminta bimbingan menempuh prosedur perijinan, namun sejauh ini belum ada perkembangan. Sementara Dewata TV di Denpasar, baru sekali diberi surat peringatan, namun menurut dia belum memberikan respon. Direktur Dewata TV, Ketut Sumerta, ketika dikonfirmasi menyatakan pihaknya telah melalui prosedur "EDP" sejak KPID Bali periode lama, namun diakui sejauh ini belum ada perkembangannya. "Kami segera mengklarifikasi masalah ini, agar tidak sampai terkena penertiban," ujarnya.

Menurut Slamet Wibowo, tim penertiban gabungan bakal melibatkan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dari instansinya, pihak kepolisian, kejaksaan, Denpom dan KPID yang anggotanya baru dilantik. "Kami berharap dukungan masyarakat luas dalam upaya penertiban kanal radio siaran dan stasiun televisi yang segera diterjunkan," tambahnya.

(Sumber dikutip : ANTARA News 26/03/08 / Red - ARSSLI Bali 29 Juli 2008)

Jumat, 25 Juli 2008

MIGRASI SISTEM PENYIARAN DARI ANALOG KE DIGITAL

Jakarta. Dalam waktu yang cepat dan secara terus menerus akan muncul teknologi komunikasi baru yang merupakan aplikasi dari sIstem teknologi digital, termasuk juga di dunia penyiaran. Kemajuan teknologi ini tidak bisa dihindari, namun setiap kali suatu bentuk teknologi komunikasi baru muncul, pasti akan timbul pertanyaan dampak apa yang ditimbulkan, apa keuntungan dan manfaatnya bagi masyarakat. Munculnya teknologi baru dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, lebih banyak dan lebih murah bagi masyarakat. Teknologi digital memiliki banyak kelebihan dibanding analog, diantaranya : a. Bertambahnya jumlah penyelenggara siaran televisi dan radio dengan kualitas penerimaan siaran yang lebih baik. b. Bertambahnya jumlah saluran untuk menayangkan hasil produksi dalam negeri maupun luar negeri. c. Dimungkinkan adanya fitur-fitur dan layanan baru seperti data casting, video on demand. d. Efisiensi dalam pemanfaatan spectrum frekuensi dan daya pancar. Perkembangan teknologi digital di bidang penyiaran, terkait erat dengan aplikasi teknologi digital khususnya untuk peralatan produksi, pasca produksi, perekaman dan transmisi. Penyiaran televisi digital dikembangkan dengan berbagai standar : a. Digital Video Broadcasting-Terrestrial (DVB-T), di berbagai Negara Eropa; b. Advanced Television System Committee (ATSC), di Amerika; dan c. Integrated Services Digital Broadcasting (ISDB) di Jepang. Pada industri penyiaran radio dikenal adanya 4 sistem digital : a. Digital Audio Broadcasting (DAB) dan Digital Radio Mondial (DRM), di Negara-negara Eropa; b. In Band On Channel (IBOC), oleh Amerika; dan c. Integrated Services Digital Broadcasting (ISDB), oleh Jepang. Untuk mengantisipasi perkembangan teknologi digital di bidang penyiaran tersebut, Departemen Komunikasi dan Informatika pada tanggal 27 Januari 2005 telah membentuk Tim Nasional Migrasi Sistem Penyiaran dari Analog ke Digital, dengan Surat Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika, Nomor : 02C/KEP/M/KOMINFO/2005. Anggota Tim Digital terdiri dari Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Perindustrian, Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, Bappenas, Kantor Menristek/BPPT, Komisi Penyiaran Indonesia, Akademisi, PT. INTI, PT. LEN Industri, PRSSNI, ATVSI, ATVLI, FRJI, HATPI, ARSSI, ARSSLI, TV Swasta, MMTC, RRI, TVRI, YLKI, Mastel, Menara Jakarta, APMI, AEBI, Aspiluki, GABEL, PT. Elektrindo Nusantara dan para Pakar. Tim Nasional bertugas mempelajari semua aspek yang terkait dengan digitalisasi penyiaran dan merekomendasikan standar yang akan digunakan di Indonesia, diantaranya : a. kesiapan regulasi di bidang digitalisasi penyiaran; b. kesiapan penyelenggara/lembaga siaran; c. kesiapan industri dalam negeri terkait dengan set top box, receiver yang akan digunakan; d. kesiapan masyarakat ditinjau dari aspek teknis, sosial, budaya dan ekonomi agar tidak membebani masyarakat e. persiapan masa transisi secara terencana melalui simulcast (siaran analog dan; digital secara bersamaan) dengan kurun waktu yang logis. f. pertimbangan dari aspek politis dengan negara-negara tetangga, utamanya dengan negara ASEAN dalam menetapkan standar penyiaran digital beserta perangkat pendukung. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia dapat bekerjasama dengan negara tetangga membangun pasar regional yang besar. Pada tanggal 24-25 Oktober 2005, Tim Nasional telah melaksanakan rapat kerja yang membahas pokok-pokok pemikiran penyusunan regulasi dan persiapan uji coba (trial test) siaran digital televisi dan radio, yang direncanakan pada awal tahun 2006. Agar proses digitalisasi ini terlaksana dengan baik diperlukan adanya sosialisasi kepada masyarakat secara terus menerus tentang maksud dan tujuan digitalisasi penyiaran.

(Dikutip dari : Direktorat Penyiaran Ditjen SKDI Depkominfo/Red - ARSSLI Bali 26 Juli 2008)

Penertiban Terpadu Terhadap Lembaga Penyiaran di Bali

Pada tanggal 1 dan 2 Juli 2008, Ditjen Postel, khususnya Balai Monitoring Frekuensi Radio Denpasar telah mengadakan pelaksanaan penertiban terhadap sejumlah lembaga penyiaran di Bali. Penertiban ini dilakukan secara terpadu dengan melibatkan sejumlah anggata tim dari Balmon Denpasar, Kejaksaan Tinggi Bali, Pomdam Udayana, Polda Bali, dan KPI Daerah Bali. Sasaran utama operasi penertiban ini adalah para pengguna frekuensi penyiaran tanpa ijin, lebih khusus lagi pada lembaga penyiaran yang sama sekali tidak memiliki ijin penggunaan frekuensi dan proses perijinannya ditolak oleh KPID Bali. Penertiban ini akan terus berlansung secara berkala sebagai bagian dari tugas pokok Balai dan Loka Monitoring Frekuensi Radio Ditjen Postel yang telah dilakukan di berbagai daerah, meskipun nantinya dalam skala yang lebih besar akan berlangsung pula penertiban yang lebih massif sifatnya dalam lingkup nasional secara serentak dimana saat ini perisiapannya sudah pada tahap finalisasi. Khusus untuk penertiban kali ini yang menjadi target operasi adalah Lembaga Penyiaran milik Pemda Kabupaten Jembrana (Jimbarwana TV dan Jimbarwana Radio FM) dan milik Pemda Kotamadya Denpasar (Radio Pemkot) dalam bentuk permintaan pengentian siaran dan penyitaan peralatan frekuensi radionya (Audio Video Modulator Radio Microwave Link merk. OMB milik Jimbarwana TV yang menghubungkan studio TV di Kabupaten Jembrana dengan pemancar televisi yang terletak di Bukit Ungasan Kaupaten Badung dan unit Processor pada pemancar televisi milik Jimbarwana TV yang memancar pada Kanal 51 yang terletak di Bukit Ungasan juga).

Jimbarwana TV ini terpaksa ditertibkan karena sudah diperingatkan oleh Balmon Denpasar berulang untuk sesegera mungkin menghentikan penggunaan frekuensi radionya yang tanpa ijin, tetapi tidak mengindahkan peringatan tersebut. Di samping itu, menggunakan kanal TV Analog (Kanal 51) yang tidak sesuai dengan Peraturan Menteri 76 Tahun 2003 dan tidak bisa memenuhi persyaratan pengajuan permohonan untuk mendapatkan Ijin Penyelenggaraan Penyiaran. Kesalahan berikutnya dari Jimbarwana TV adalah karena menggunakan frekuensi tanpa ijin yang difungsikan sebagai microwave link untuk menghubungkan studio di Jembrana dan stasiun pemancar di Kabupaten Badung. Sebagai informasi, Jimbarwana TV ini juga ternyata belum mengikuti EDP (Evaluasi Dengar Pendapat). Sementara itu yang sudah mengikuti EDP adalah Bali TV, Dewata TV, ATV dan BMC, yang untuk selanjutnya hasil EDP ini akan dibawa ke forum FRB (Forum Rapat Bersama) yang melibatkan Depkominfo, KPI dan instansi lain terkait.

Sedangkan kasus yang terkait dengan Jimbarwana FM adalah juga karena sudah diperingatkan oleh Balmon Denpasar untuk segera menghentikan penggunaan frekuensi tanpa ijin, tetapi tidak mengindahkan peringatan tersebut dan bahkan terbukti menggunakan kanal frekuensi yang dialokasikan untuk penyelenggaraan radio komunitas. Selain itu, tidak bisa memenuhi persyaratan pengajuan permohonan untuk mendapatkan Ijin Penyelenggaraan Penyiaran. Akan halnya radio Pemda Denpasar adalah selain karena sudah diperingatkan berulang kali oleh Balmon Denpasar, juga karena menggunakan kanal frekuensi yang tidak seusai denga Peraturan Menteri 15 Tahun 2003 dan telah menggunakan frekuensi radio tanpa ijin stasiun radio.

(Sumber Dikutip dari : Siaran Pers No. 75/DJPT.1/KOMINFO/7/2008/ Red - ARSSLI Bali 25 Juli 2008)

Rabu, 23 Juli 2008

Dari 2.000 Radio di Jatim Hanya 79 Miliki Ijin

Hanya 79 dari 2.000 lebih radio di Jawa Timur yang mengantongi ijin lembaga penyiaran, sedangkan kanal frekuensi yang tersedia juga tidak sebanyak itu.

"Di Surabaya tercatat 29 radio yang berijin dan kanal frekuensi yang tersedia hanya 33 kanal, tapi radio yang mengudara lebih dari itu," kata Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Jatim, Luthfi Abdullah, di Surabaya, Kamis.

Ia mengemukakan hal itu dalam diskusi terbatas tentang lembaga penyiaran yang menampilkan praktisi penyiaran Surabaya Errol Jonathans dan ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jatim Fajar Arifiyanto Isnugroho.

Menurut Luthfi Abdullah, PRSSNI Jatim memiliki anggota sebanyak 87 radio dengan 79 radio diantaranya memiliki ijin lembaga penyiaran, tapi jumlah radio di seluruh Jatim mencapai 2.000 lebih radio.

"Itu berakibat siaran radio menjadi tidak berkualitas dan masyarakat mulai banyak yang meninggalkan radio dengan program acara yang hampir sama serta kualitas suara yang kurang jelas," katanya.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah mengambil tindakan tegas dengan melakukan penertiban. "Bagi radio yang menolak ditertibkan, karena siarannya tak berkualitas, perlu diblacklist," katanya.

Senada dengan itu, tokoh radio Surabaya Errol Jonathans mengakui jumlah pendengar radio terus berkurang setiap tahun, karena kejenuhan masyarakat terhadap program siaran yang sama dan monoton.

"Data lembaga penelitian media internasional, Nielsen Media Research, menyebutkan pendengar radio di Surabaya pada 2005 tercatat masih 77,44 persen, tapi tahun 2007 sudah berkurang menjadi 63,41 persen.

"Pada tahun 2010, jumlah itu diperkirakan akan berkurang menjadi 55 persen," kata Direktur Operasional radio `Suara Surabaya` itu.

Selain kejenuhan masyarakat dengan program siaran, katanya, fenomena berkurangnya minat masyarakat juga didukung perubahan perilaku masyarakat dalam menggunakan peralatan modern.

"Untuk mendengarkan musik, masyarakat menggunakan ponsel, komputer dan MP3, karena itu hasil penelitian Nielsen pada 2005 mencatat pengguna peralatan modern dalam mendengarkan musik sebanyak 22,38 persen dari total warga Kota Surabaya dan tahun 2007 meningkat menjadi 34,17 persen," katanya.

Oleh karena itu, pemilik lembaga penyiaran dan pemerintah hendaknya segera menyikapi keadaan itu agar tidak terjadi pengurangan pendengar radio secara konvensional, apalagi jumlah radio terus bertambah.

"Penyelenggara lembaga penyiaran harus lebih inovatif dalam membuat program siaran serta tetap menjaga profesionalitas," katanya.

Menyikapi jumlah radio komunitas yang semakin banyak dan kadang tidak terkontrol dalam melakukan siaran, dia mengusulkan agar pemerintah membuat kanal frekwensi khusus dengan sistem siaran secara bergantian.

"Di luar negeri, radio komunitas diberi kesempatan untuk mengudara selama satu jam secara bergantian dalam satu hari, namun dengan kapasitas kekuatan kanal frekwensi yang cukup besar," katanya.

Usulan itu disambut baik Ketua KPID Jatim Fajar Arifianto Isnugroho. "Kami akan meneruskan usulan kepada Dirjen Postel selaku pemegang kebijakan, sebab otoritas KPID hanya sebatas memberikan rekomendasi," katanya.

Komentar Redaksi : Wahh...bagaimana mungkin yach? Dari 79 radio yang telah mengantongi ijin lembaga penyiaran 29 radio sudah menempati kanal dari 33 kanal yang tersedia, itu berarti hanya tersisa 4 kanal sedangkan masih ada 50 station radio (yang telah mengantongi ijin lembaga penyiaran) lainnya yang mau tidak mau harus berebut masuk di 4 kanal sisa tersebut....bagaimana dengan 2000 station radio lainnya???? Siapa yang bertanggung jawab, Mohon jawab pertanyaan ini??? Bagaimana dengan Pulau Bali?!?

(Sumber : rsd.Kapanlagi.com/Red - ARSSLI BALI 24 Juli 2008)

Sabtu, 19 Juli 2008

Dua Radio di Bali Jalani EDP

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali menggelar Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) untuk dua lembaga penyiaran swasta radio di Kabupaten Jembrana, yakni Radio Swara Bahana FM dan Radio Gelora Buana Perkasa (Star FM), Kamis (12/6) lalu.


Koordinator Bidang Perizinan KPID Bali, Gde Nyoman Suryawan, menyatakan EDP terhadap dua radio itu dilaksanakan jauh sebelum tenggat waktu satu bulan setelah verifikasi faktual yang dilaksanakan pada 27 Mei 2008 lalu. “Semua dilakukan untuk membuktikan komitmen KPID Bali mendorong semua lembaga penyiaran mematuhi peraturan yang berlaku,” ujarnya.

EDP dihadiri berbagai elemen masyarakat Kabupaten Jembrana dan perwakilan dari Balai Monitor Spektrum Frekwensi dan Orbit Satelit (Balmon) Klas II Denpasar, Ketua KPID Bali Komang Suarsana, bersama dua anggota KPID yakni Nyoman Mardika dan IGA Alit Suryawati.

Dalam sambutan pembukaan, Komang menegaskan, EDP merupakan salah satu tahapan proses perizinan yang bisa menentukan “nasib” sebuah lembaga penyiaran, layak bersiaran atau tidak.

Untuk itu, pihaknya minta kepada seluruh lembaga penyiaran yang ada di Bali untuk mematuhi proses dan memenuhi berbagai persyaratan yang ada, sehingga mereka bisa bersama-sama menjadi bagian dari dunia penyiaran yang tertib, berkualitas, dan harmonis. “Jika memang belum berproses, kami mengharapkan mereka untuk jangan bersiaran dulu,” tegas Komang. (KPID Bali)

(Dikutip dari KPI Selasa, 17 Juni 2008 / Red - ARSSLI Provinsi Bali 19 Juli 2008)

Senin, 14 Juli 2008

Menyoal Kaukus Anti PP Penyiaran

Menyoal Kaukus Anti PP Penyiaran
Oleh Hidajanto Djamal


Silang pendapat antara pemerintah dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tampaknya tidak akan kunjung putus sebelum pemerintah takluk kepada kelompok itu untuk menyerahkan kewenangan menandatangani surat izin penyelenggaraan penyiaran.

Permasalahan yang terjadi sudah bergeser dari substansi pengaturan dunia penyiaran yang sebenarnya kepada perebutan kewenangan itu.

Sebetulnya tidak akan muncul gagasan membentuk sebuah kaukus yang disebut KUP (Kaukus untuk Penyiaran), pada 6 Februari 2006 lalu bila pemerintah langsung menyerahkan kewenangan itu kepada KPI. Kaukus sengaja didirikan oleh anasir-anasir KPI dan "kroni"-nya untuk menggalang opini guna menentang pemberlakuan PP Penyiaran.

Dalam kasus perseteruan pemerintah versus KPI, yang terus berlarut, terkesan sudah tidak ada lagi etika politik dan etika bernegara. Sebab, Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 tentang Judicial Review UU No. 32/2002 tentang Penyiaran sudah tidak dianggap lagi. Sudah jelas dalam amar putusan itu bahwa kewenangan penyusunan peraturan pemerintah (PP) untuk undang-undang tersebut dikembalikan kepada pemerintah sendiri karena bertentangan dengan UUD 1945 pada pasal yang mengatur kewenangan itu. Dalam kasus ini sudah mulai tampak bahwa dalam penyelenggaraan negara, fungsi-fungsi legislatif, dan eksekutif menjadi kabur.

DPR yang semula mempunyai tugas menyusun perundangan dalam tataran undang-undang, sudah mulai menginterfensi penyusunan peraturan perundangan pada tataran di bawahnya, yaitu PP, yang sejatinya berada dalam kewenangan pemerintah. Ini jelas sekali dari pernyataan salah seorang anggota Komisi I DPR RI (Republika, 10 Februari 2006), yang mengatakan bahwa Komisi I akan menunda pembahasan anggaran berikutnya untuk Depkominfo bila pemerintah tidak mencabut atau merevisi empat PP tentang Penyiaran yang telah diterbitkan pemerintah. Bila yang bersangkutan berbicara atas nama pribadi dan kemudian bergabung masuk dalam satu bentuk kaukus, itu sah-sah saja karena dalam kapasitas pribadi. Tetapi bila itu merupakan suara Komisi I, maka kentara sekali ada etika bernegara yang sudah kabur.

Sejatinya, dalam proses penyusunan PP Penyiaran, pemerintah telah melibatkan hampir semua unsur terkait, seperti unsur BEJ (Bursa Efek Jakarta) serta mitranya Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal), karena berkait dengan permodalan LPS agar skema penambahan modal yang digunakan LPS sesuai pasar. Berkait dengan urusan kepegawaian karyawan LPP, dilibatkan pula unsur Kementerian PAN (Pendayagunaan Aparatur Negara) dan BKN (Badan Kepegawaian Negara). Selain itu, unsur Lembaga Bahasa-Diknas dan Departemen Hukum dan HAM juga ikut dilibatkan karena berkait dengan penyusunan pasal-pasal agar mudah dipahami masyarakat secara umum dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan masukan dari LPS secara terpisah (bukan atas nama ATVSI dan PRSSNI) maupun dari KPI sendiri juga telah ditampungnya.

Dengan amar putusan MK yang diterbitkan tanggal 28 Juli 2004, maka kita semua, termasuk anggota KPI dan DPR, seharusnya tidak boleh lagi menoleh ke belakang. Yaitu, dengan mengatakan bahwa ketika era Menteri Syamsul Muarif, pihak KPI diajak bersama pemerintah untuk penyusunan PP tersebut, dan sebagainya. Atau bahkan mengklaim bahwa nama KPI berasal dari draft konsep miliknya yang diajukan ke DPR masa lalu. Kalau argumentasi terakhir ini yang dikemukakan, maka dapat saja dipertentangkan dengan UU No. 24/1997 tentang Penyiaran yang sudah digantikan oleh UU No. 32/2002. Di situ telah diatur adanya satu badan yang berfungsi persis dengan KPI dan juga beranggotakan 9 orang.

Dari sini bisa dibandingkan mana yang lebih demokratis karena dalam UU No. 24/1997 badan tersebut beranggotakan seluruh unsur masyarakat, termasuk tokoh agama, tokoh pendidik, psikolog , dan tokoh masyarakat lainnya. Sementara di KPI sekarang sesuai UU No. 32/2002, yakni enam dari sembilan anggota berasal dari unsur perguruan tinggi yang tidak ada kaitannya dengan urusan pedagogik. Tetapi, ya sudah, sebaiknya hal itu dikesampingkan, toh pada kenyataannya UU No. 24/1997 telah digantikan oleh UU No. 32/2002. Jadi dalam hal ini, memang tidak ada pemikiran yang betul-betul orisinal. Masa invention sudah lewat zamannya.

Sebaiknya dalam membahas masalah penyiaran, pembahasan yang dilakukan dimulai sejak Amar Putusan MK tentang Judicial Review UU No.. 32/2002 tanggal 28 Juli 2004. Harus dihindari upaya untuk melihat kasus ke belakang lagi. Meski demikian, pantas diapresiasi, ada salah satu dari sembilan anggota KPI yang dengan tulus menyatakan tidak akan mengoreksi habis-habisan substansi PP. Yang bersangkutan malah meminta agar peraturan perundangan yang sudah ada, termasuk PP yang sudah diturunkan, biarlah berjalan dulu untuk dilihat hasilnya.

Memang benar bahwa terkait dengan kebijakan penyiaran, pemerintah sejauh ini baru melakukan pembatasan jam siaran dalam kerangka penghematan energi secara nasional. Sementara KPI telah melayangkan surat keberatan ke Kedubes Malaysia dalam kaitan perampasan kaset rekaman salah satu stasiun TV nasional kita (14 Februari 2005). Kemudian KPID Jawa Tengah memberlakukan retribusi sebesar Rp 500 ribu terkait dengan pendaftaran ulang izin penyiaran Radio FM (24 Desember 2004), walaupun kemudian segera dicabut. Kedua langkah KPI di atas berada di luar kewenangannya atau, tegasnya, menyalahi aturan.

Yang agak ganjil, mengapa pihak-pihak yang tidak terkait langsung dengan penyiaran ikut-ikutan kebakaran jenggot? Padahal, mereka tidak terlibat langsung bagaimana paket produksi itu dilaksanakan, bagaimana menyusun pola acara keseharian, bagaimana mengurus tenaga profesional agar dapat bekerja secara profesional, dan sebagainya?

Sementara pihak yang dikenai aturan malah menyatakan sikap mendesak Depkominfo agar segera memberlakukan PP No. 50/2005 tentang LPS (yang ditetapkan 12 Desember 2005). Mereka adalah Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Radio Siaran Swasta Indonesia (ARSSI), Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia (ARSSLI), Forum Radio Jaringan Indonesia (FRJI), Komunitas Televisi Indonesia (KTI), Asosiasi Pelayanan Radio Indonesia (APRI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATLI), dan Persatuan Sulih Suara Indonesia (PSSI). Keinginan mereka dituangkan dalam surat resmi dengan ditandatangani oleh ketua atau sekjen asosiasi masing-masing.

Sekali lagi, sangat disayangkan beberapa anggota DPR terhormat, khususnya anggota Komisi I, bersedia bergabung dengan kelompok "frustrasi" itu. Sekali lagi, kalau kewenangan "menandatangani" surat izin penyelenggaraan siaran itu berada di tangan KPI, apa bedanya dengan Departemen Penerangan tempo doeloe dengan kewenangan yang tak terbatas di bidang penyiaran dan pers? ***

Penulis adalah dosen Fakultas Teknik dan
Sains-Universitas Nasional.

(Kamis, 16 Februari 2006/Red - ARSSLI Provinsi Bali 15 Juli 2008)

Sabtu, 12 Juli 2008

UU NO. 32 THN 2002 TENTANG PENYIARAN

UU RI nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
Jum'at, 26 Maret 2004 | 16:20 WIB

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :


a. bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

c. bahwa untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah maka perlu dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

d. bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial;

e. bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak, maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e maka Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu dicabut dan membentuk Undang-undang tentang Penyiaran yang baru;



Mengingat :

1. Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), Pasal 28F, Pasal 31 ayat (1), Pasal 32, Pasal 33 ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3473);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817);

4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

6. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881);

7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);

8. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3887);

9. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4220);



Dengan persetujuan bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

presiden republik indonesia,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENYIARAN.


bab i

ketentuan umum

Pasal 1


Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.

2. Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

3. Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.

4. Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.

5. Siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.

6. Siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk mempengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan.

7. Siaran iklan layanan masyarakat adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan tersebut.

8. Spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas.

9. Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

10. Sistem penyiaran nasional adalah tatanan penyelenggaraan penyiaran nasional berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menuju tercapainya asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran nasional sebagai upaya mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

11. Tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib, teratur, dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antarwilayah di Indonesia, serta antara Indonesia dan dunia internasional.

12. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden atau Gubernur.

13. Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.

14. Izin penyelenggaraan penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara kepada lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran.


BAB II

ASAS, TUJUAN, FUNGSI, DAN ARAH

Pasal 2


Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.

Pasal 3

Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.


Pasal 4

(1) Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.

(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.


Pasal 5

Penyiaran diarahkan untuk :

a. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa;

c. meningkatkan kualitas sumber daya manusia;

d. menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa;

e. meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional;

f. menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup;

g. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran;

h. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi;

i. memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab;

j. memajukan kebudayaan nasional.


BAB III

PENYELENGGARAAN PENYIARAN

Bagian Pertama

Umum

Pasal 6


(1) Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional.

(2) Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(3) Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.

(4) Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran.



Bagian Kedua

Komisi Penyiaran Indonesia

Pasal 7


(1) Komisi penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) disebut Komisi Penyiaran Indonesia, disingkat KPI.

(2) KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran.

(3) KPI terdiri atas KPI Pusat dibentuk di tingkat pusat dan KPI Daerah dibentuk di tingkat provinsi.

(4) Dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya, KPI Pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan KPI Daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.


Pasal 8

(1) KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.

(2) Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPI mempunyai wewenang:

a. menetapkan standar program siaran;

b. menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;

c. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;

d. memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;

e. melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Peme-rintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.

(3) KPI mempunyai tugas dan kewajiban :

a. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;

b. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;

c. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait;

d. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;

e. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sang-gahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penye-lenggaraan penyiaran; dan

f. menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.

Pasal 9

(1) Anggota KPI Pusat berjumlah 9 (sembilan) orang dan KPI Daerah berjumlah 7 (tujuh) orang.

(2) Ketua dan wakil ketua KPI dipilih dari dan oleh anggota.

(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

(4) KPI dibantu oleh sebuah sekretariat yang dibiayai oleh negara.

(5) Dalam melaksanakan tugasnya, KPI dapat dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.

(6) Pendanaan KPI Pusat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan pendanaan KPI Daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.


Pasal 10

(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota KPI harus dipenuhi syarat sebagai berikut:

a. warga negara Republik Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. berpendidikan sarjana atau memiliki kompetensi intelektual yang setara;

d. sehat jasmani dan rohani;

e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

f. memiliki kepedulian, pengetahuan dan/atau pengalaman dalam bidang penyiaran;

g. tidak terkait langsung atau tidak langsung dengan kepemilik-an media massa;

h. bukan anggota legislatif dan yudikatif;

i. bukan pejabat pemerintah; dan

j. nonpartisan.

(2) Anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan KPI Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.

(3) Anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.

(4) Anggota KPI berhenti karena:


a. masa jabatan berakhir;

b. meninggal dunia;

c. mengundurkan diri;

d. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; atau

e. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 11

(1) Apabila anggota KPI berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya.

(2) Penggantian anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penggantian anggota KPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh KPI.


Pasal 12

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian kewenangan dan tugas KPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengaturan tata hubungan antara KPI Pusat dan KPI Daerah, serta tata cara penggantian anggota KPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditetapkan dengan Keputusan KPI Pusat.


Bagian Ketiga

Jasa Penyiaran

Pasal 13


(1) Jasa penyiaran terdiri atas:

a. jasa penyiaran radio; dan

b. jasa penyiaran televisi.

(2) Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselengga-rakan oleh:


a. Lembaga Penyiaran Publik;

b. Lembaga Penyiaran Swasta;

c. Lembaga Penyiaran Komunitas; dan

d. Lembaga Penyiaran Berlangganan.



Bagian Keempat

Lembaga Penyiaran Publik

Pasal 14


(1) Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.

(2) Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibukota Negara Republik Indonesia.

(3) Di daerah provinsi, kabupaten, atau kota dapat didirikan Lembaga Penyiaran Publik lokal.

(4) Dewan pengawas dan dewan direksi Lembaga Penyiaran Publik dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Dewan pengawas ditetapkan oleh Presiden bagi Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; atau oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota bagi Lembaga Penyiaran Publik lokal atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, setelah melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka atas masukan dari pemerintah dan/atau masyarakat.

(6) Jumlah anggota dewan pengawas bagi Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia sebanyak 5 (lima) orang dan dewan pengawas bagi Lembaga Penyiaran Publik Lokal sebanyak 3 (tiga) orang.

(7) Dewan direksi diangkat dan ditetapkan oleh dewan pengawas.

(8) Dewan pengawas dan dewan direksi Lembaga Penyiaran Publik mempunyai masa kerja 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa kerja berikutnya.

(9) Lembaga Penyiaran Publik di tingkat pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Lembaga Penyiaran Publik di tingkat daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Penyiaran Publik disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

Pasal 15

(1) Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Publik berasal dari :


a. iuran penyiaran;

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

c. sumbangan masyarakat;

d. siaran iklan; dan

e. usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.


(2) Setiap akhir tahun anggaran, Lembaga Penyiaran Publik wajib membuat laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya diumumkan melalui media massa.



Bagian Kelima

Lembaga Penyiaran Swasta

Pasal 16


(1) Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.

(2) Warga negara asing dilarang menjadi pengurus Lembaga Penyiaran Swasta, kecuali untuk bidang keuangan dan bidang teknik.


Pasal 17

(1) Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) didirikan dengan modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.

(2) Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan pengembangan dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing, yang jumlahnya tidak lebih dari 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh modal dan minimum dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.

(3) Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan.


Pasal 18

(1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.

(2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.

(3) Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pembatasan kepemilikan silang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.


Pasal 19

Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Swasta diperoleh dari:

a. siaran iklan; dan/atau

b. usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.



Pasal 20


Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran.


Bagian Keenam

Lembaga Penyiaran Komunitas

Pasal 21


(1) Lembaga Penyiaran Komunitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.

(2) Lembaga Penyiaran Komunitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan :

a. tidak untuk mencari laba atau keuntungan atau tidak merupakan bagian perusahaan yang mencari keuntungan semata; dan

b. untuk mendidik dan memajukan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan, dengan melaksanakan program acara yang meliputi budaya, pendidikan, dan informasi yang menggam-barkan identitas bangsa.

(3) Lembaga Penyiaran Komunitas merupakan komunitas nonpartisan yang keberadaan organisasinya:

a. tidak mewakili organisasi atau lembaga asing serta bukan komunitas internasional;

b. tidak terkait dengan organisasi terlarang; dan

c. tidak untuk kepentingan propaganda bagi kelompok atau golongan tertentu.


Pasal 22

(1) Lembaga Penyiaran Komunitas didirikan atas biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitas tertentu dan menjadi milik komunitas tersebut.

(2) Lembaga Penyiaran Komunitas dapat memperoleh sumber pembiayaan dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.


Pasal 23

(1) Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang menerima bantuan dana awal mendirikan dan dana operasional dari pihak asing.

(2) Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang melakukan siaran iklan dan/atau siaran komersial lainnya, kecuali iklan layanan masyarakat.


Pasal 24

(1) Lembaga Penyiaran Komunitas wajib membuat kode etik dan tata tertib untuk diketahui oleh komunitas dan masyarakat lainnya.

(2) Dalam hal terjadi pengaduan dari komunitas atau masyarakat lain terhadap pelanggaran kode etik dan/atau tata tertib, Lembaga Penyiaran Komunitas wajib melakukan tindakan sesuai dengan pedoman dan ketentuan yang berlaku.


Bagian Ketujuh

Lembaga Penyiaran Berlangganan

Pasal 25



(1) Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf d merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan.

(2) Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi, multi-media, atau media informasi lainnya.


Pasal 26

(1) Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 terdiri atas:

a. Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit;

b. Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel; dan

c. Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui terestrial.

(2) Dalam menyelenggarakan siarannya, Lembaga Penyiaran Ber-langganan harus:

a. melakukan sensor internal terhadap semua isi siaran yang akan disiarkan dan/atau disalurkan;

b. menyediakan paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Swasta; dan

c. menyediakan 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri berbanding 10 (sepuluh) siaran produksi luar negeri paling sedikit 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri.

(3) Pembiayaan Lembaga Penyiaran Berlangganan berasal dari :

a. iuran berlangganan; dan

b. usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.


Pasal 27

Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

a. memiliki jangkauan siaran yang dapat diterima di wilayah Negara Republik Indonesia;

b. memiliki stasiun pengendali siaran yang berlokasi di Indonesia;

c. memiliki stasiun pemancar ke satelit yang berlokasi di Indonesia;

d. menggunakan satelit yang mempunyai landing right di Indonesia; dan

e. menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.


Pasal 28

Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel dan melalui terestrial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dan huruf c, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

a. memiliki jangkauan siaran yang meliputi satu daerah layanan sesuai dengan izin yang diberikan; dan

b. menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.


Pasal 29

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (7), Pasal 34 ayat (4) dan ayat (5) berlaku pula bagi Lembaga Penyiaran Berlangganan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.


Bagian Kedelapan

Lembaga Penyiaran Asing

Pasal 30


(1) Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia.

(2) Lembaga penyiaran asing dan kantor penyiaran asing yang akan melakukan kegiatan jurnalistik di Indonesia, baik yang disiarkan secara langsung maupun dalam rekaman, harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kegiatan peliputan lembaga penyiaran asing disusun oleh KPI bersama Pemerintah.


Bagian Kesembilan

Stasiun Penyiaran dan Wilayah Jangkauan Siaran

Pasal 31


(1) Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal.

(2) Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

(3) Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

(5) Stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada lokasi tersebut.

(6) Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada.



Bagian Kesepuluh

Rencana Dasar Teknik Penyiaran dan

Persyaratan Teknis Perangkat Penyiaran


Pasal 32


(1) Setiap pendirian dan penyelenggaraan penyiaran wajib memenuhi ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun lebih lanjut oleh KPI bersama Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Bagian Kesebelas

Perizinan

Pasal 33


(1) Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran.

(2) Pemohon izin wajib mencantumkan nama, visi, misi, dan format siaran yang akan diselenggarakan serta memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

(3) Pemberian izin penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan minat, kepentingan dan kenyamanan publik.

(4) Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh:

a. masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;

b. rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;

c. hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan

d. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI.

(5) Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI.

(6) Izin penyelenggaraan dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran wajib diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ada kesepakatan dari forum rapat bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c.

(7) Lembaga penyiaran wajib membayar izin penyelenggaraan penyiaran melalui kas negara.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran disusun oleh KPI bersama Pemerintah.


Pasal 34

(1) Izin penyelenggaraan penyiaran diberikan sebagai berikut:

a. izin penyelenggaraan penyiaran radio diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;

b. izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.

(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b masing-masing dapat diperpanjang.

(3) Sebelum memperoleh izin tetap penyelenggaraan penyiaran, lembaga penyiaran radio wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 6 (enam) bulan dan untuk lembaga penyiaran televisi wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 1 (satu) tahun.

(4) Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.

(5) Izin penyelenggaraan penyiaran dicabut karena :

a. tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan;

b. melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan;

c. tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan kepada KPI;

d. dipindahtangankan kepada pihak lain;

e. melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran; atau

f. melanggar ketentuan mengenai standar program siaran setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

(6) Izin penyelenggaraan penyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan tidak diperpanjang kembali.


BAB IV

PELAKSANAAN SIARAN

Bagian Pertama

Isi Siaran

Pasal 35


Isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi, dan arah siaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.


Pasal 36

(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.

(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

(5) Isi siaran dilarang :

a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau

c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.



Bagian Kedua

Bahasa Siaran

Pasal 37


Bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran harus Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Pasal 38

(1) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam penyelenggaraan program siaran muatan lokal dan, apabila diperlukan, untuk mendukung mata acara tertentu.

(2) Bahasa asing hanya dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara siaran.

Pasal 39

(1) Mata acara siaran berbahasa asing dapat disiarkan dalam bahasa aslinya dan khusus untuk jasa penyiaran televisi harus diberi teks Bahasa Indonesia atau secara selektif disulihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan mata acara tertentu.

(2) Sulih suara bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah mata acara berbahasa asing yang disiarkan.

(3) Bahasa isyarat dapat digunakan dalam mata acara tertentu untuk khalayak tunarungu.


Bagian Ketiga

Relai dan Siaran Bersama

Pasal 40


(1) Lembaga penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain, baik lembaga penyiaran dalam negeri maupun dari lembaga penyiaran luar negeri.

(2) Relai siaran yang digunakan sebagai acara tetap, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dibatasi.

(3) Khusus untuk relai siaran acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran luar negeri, durasi, jenis dan jumlah mata acaranya dibatasi.

(4) Lembaga penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain secara tidak tetap atas mata acara tertentu yang bersifat nasional, internasional, dan/atau mata acara pilihan.


Pasal 41

Antar lembaga penyiaran dapat bekerja sama melakukan siaran bersama sepanjang siaran dimaksud tidak mengarah pada monopoli informasi dan monopoli pembentukan opini.


Bagian Keempat

Kegiatan Jurnalistik

Pasal 42


Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Bagian Kelima

Hak Siar

Pasal 43



(1) Setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar.

(2) Dalam menayangkan acara siaran, lembaga penyiaran wajib mencantumkan hak siar.

(3) Kepemilikan hak siar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus disebutkan secara jelas dalam mata acara.

(4) Hak siar dari setiap mata acara siaran dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Bagian Keenam

Ralat Siaran


Pasal 44


(1) Lembaga penyiaran wajib melakukan ralat apabila isi siaran dan/atau berita diketahui terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan, atau terjadi sanggahan atas isi siaran dan/atau berita.

(2) Ralat atau pembetulan dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 24 (dua puluh empat) jam berikutnya, dan apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan, ralat dapat dilakukan pada kesempatan pertama serta mendapat perlakuan utama.

(3) Ralat atau pembetulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak membebaskan tanggung jawab atau tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan.


Bagian Ketujuh

Arsip Siaran

Pasal 45


(1) Lembaga Penyiaran wajib menyimpan bahan siaran, termasuk rekaman audio, rekaman video, foto, dan dokumen, sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun setelah disiarkan.

(2) Bahan siaran yang memiliki nilai sejarah, nilai informasi, atau nilai penyiaran yang tinggi, wajib diserahkan kepada lembaga yang ditunjuk untuk menjaga kelestariannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Bagian Kedelapan

Siaran Iklan

Pasal 46


(1) Siaran iklan terdiri atas siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat.

(2) Siaran iklan wajib menaati asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

(3) Siaran iklan niaga dilarang melakukan:


a. promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain;

b. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif;

c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;

d. hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau

e. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.


(4) Materi siaran iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran wajib memenuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI.

(5) Siaran iklan niaga yang disiarkan menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran.

(6) Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untuk anak-anak wajib mengikuti standar siaran untuk anak-anak.

(7) Lembaga Penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan masyarakat.

(8) Waktu siaran iklan niaga untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling banyak 20% (dua puluh per seratus), sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik paling banyak 15% (lima belas per seratus) dari seluruh waktu siaran.

(9) Waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari siaran iklannya.

(10) Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapa pun untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan.

(11) Materi siaran iklan wajib menggunakan sumber daya dalam negeri.



Bagian Kesembilan

Sensor Isi Siaran

Pasal 47


Isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang.


BAB V

PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN

Pasal 48


(1) Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggaraan siaran ditetapkan oleh KPI.

(2) Pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun dan bersumber pada :

a. nilai-nilai agama, moral dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

b. norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum dan lembaga penyiaran.

(3) KPI wajib menerbitkan dan mensosialisasikan pedoman perilaku penyiaran kepada Lembaga Penyiaran dan masyarakat umum.

(4) Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan:

a. rasa hormat terhadap pandangan keagamaan;

b. rasa hormat terhadap hal pribadi;

c. kesopanan dan kesusilaan;

d. pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme;

e. perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan;

f. penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak;

g. penyiaran program dalam bahasa asing;

h. ketepatan dan kenetralan program berita;

i. siaran langsung; dan

j. siaran iklan.

(5) KPI memfasilitasi pembentukan kode etik penyiaran.



Pasal 49

KPI secara berkala menilai pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) sesuai dengan perubahan peraturan perundang-undangan dan perkembangan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Pasal 50

(1) KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran.

(2) KPI wajib menerima aduan dari setiap orang atau kelompok yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran.

(3) KPI wajib menindaklanjuti aduan resmi mengenai hal-hal yang bersifat mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e.

(4) KPI wajib meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan dan memberikan kesempatan hak jawab.

(5) KPI wajib menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada pihak yang mengajukan aduan dan Lembaga Penyiaran yang terkait.


Pasal 51

(1) KPI dapat mewajibkan Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan dan/atau menerbitkan pernyataan yang berkaitan dengan aduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) apabila terbukti benar.

(2) Semua Lembaga Penyiaran wajib menaati keputusan yang dikeluarkan oleh KPI yang berdasarkan pedoman perilaku penyiaran.



BAB VI

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 52


(1) Setiap warga negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional.

(2) Organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan pendidikan, dapat mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan Lembaga Penyiaran.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.



BAB VII

PERTANGGUNGJAWABAN

Pasal 53


(1) KPI Pusat dalam menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(2) KPI Daerah dalam menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya bertanggung jawab kepada Gubernur dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.


Pasal 54

Pimpinan badan hukum lembaga penyiaran bertanggung jawab secara umum atas penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penanggung jawab atas tiap-tiap program yang dilaksanakan.



BAB VIII

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 55


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 ayat (2), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 ayat (7), Pasal 34 ayat (5) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf f, Pasal 36 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (11), dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :


a. teguran tertulis;

b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;

c. pembatasan durasi dan waktu siaran;

d. denda administratif;

e. pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;

f. tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;

g. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.



BAB IX

PENYIDIKAN

Pasal 56


(1) Penyidikan terhadap tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

(2) Khusus bagi tindak pidana yang terkait dengan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (5) huruf b dan huruf e, penyidikan dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku.



BAB X

KETENTUAN PIDANA


Pasal 57


Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:


a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);

b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);

c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);

d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);

e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).



Pasal 58

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:


a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);

b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1);

c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4);

d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3).



Pasal 59

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (10) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 60


(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, segala peraturan pelaksanaan di bidang penyiaran yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru.

(2) Lembaga Penyiaran yang sudah ada sebelum diundangkannya Undang-undang ini tetap dapat menjalankan fungsinya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-undang ini paling lama 2 (dua) tahun untuk jasa penyiaran radio dan paling lama 3 (tiga) tahun untuk jasa penyiaran televisi sejak diundangkannya Undang-undang ini.

(3) Lembaga Penyiaran yang sudah mempunyai stasiun relai, sebelum diundangkannya Undang-undang ini dan setelah berakhirnya masa penyesuaian, masih dapat menyelenggarakan penyiaran melalui stasiun relainya, sampai dengan berdirinya stasiun lokal yang berjaringan dengan Lembaga Penyiaran tersebut dalam batas waktu paling lama 2 (dua) tahun, kecuali ada alasan khusus yang ditetapkan oleh KPI bersama Pemerintah.



BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 61


(1) KPI harus sudah dibentuk selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah diundangkannya Undang-undang ini.

(2) Untuk pertama kalinya pengusulan anggota KPI diajukan oleh Pemerintah atas usulan masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.



Pasal 62

(1) Ketentuan-ketentuan yang disusun oleh KPI bersama Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (10), Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), Pasal 32 ayat (2), Pasal 33 ayat (8), Pasal 55 ayat (3), dan Pasal 60 ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah selesai disusun oleh KPI bersama Pemerintah.



Pasal 63

Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3701) dinyatakan tidak berlaku lagi.



Pasal 64

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.



Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.





Disahkan di Jakarta

pada tanggal 28 Desember 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI







Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 28 Desember 2002

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,


ttd

BAMBANG KESOWO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 139





Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi Sekretaris Kabinet

Bidang Hukum dan Perundang-undangan,






Lambock V. Nahattands

Penjelasan >>>

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 32 TAHUN 2002

TENTANG

PENYIARAN


UMUM


Bahwa kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan, dan memperoleh informasi, bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dengan demikian, kemerdekaan atau kebebasan dalam penyiaran harus dijamin oleh negara. Dalam kaitan ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui, menjamin dan melindungi hal tersebut. Namun, sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka kemerdekaan tersebut harus bermanfaat bagi upaya bangsa Indonesia dalam menjaga integrasi nasional, menegakkan nilai-nilai agama, kebenaran, keadilan, moral, dan tata susila, serta memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kebebasan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut telah membawa implikasi terhadap dunia penyiaran, termasuk penyiaran di Indonesia. Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum, perannya makin sangat strategis, terutama dalam mengembangkan alam demokrasi di negara kita. Penyiaran telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis, dan pemerintah. Perkembangan tersebut telah menyebabkan landasan hukum pengaturan penyiaran yang ada selama ini menjadi tidak memadai.

Peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan sebagian tugas-tugas umum pemerintahan, khususnya di bidang penyelenggaraan penyiaran, tidaklah terlepas dari kaidah-kaidah umum penyelenggaraan telekomunikasi yang berlaku secara universal.

Atas dasar hal tersebut perlu dilakukan pengaturan kembali mengenai penyiaran.

Undang-undang ini disusun berdasarkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

1. penyiaran harus mampu menjamin dan melindungi kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis, termasuk menjamin kebebasan berkreasi dengan bertumpu pada asas keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum;

2. penyiaran harus mencerminkan keadilan dan demokrasi dengan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban masyarakat ataupun pemerintah, termasuk hak asasi setiap individu/orang dengan menghormati dan tidak mengganggu hak individu/orang lain;

3. memperhatikan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, juga harus mempertimbangkan penyiaran sebagai lembaga ekonomi yang penting dan strategis, baik dalam skala nasional maupun internasional;

4. mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di bidang penyiaran, seperti teknologi digital, kompresi, komputerisasi, televisi kabel, satelit, internet, dan bentuk-bentuk khusus lain dalam penyelenggaraan siaran;

5. lebih memberdayakan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial dan berpartisipasi dalam memajukan penyiaran nasional; untuk itu, dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia yang menampung aspirasi masyarakat dan mewakili kepentingan publik akan penyiaran;

6. penyiaran mempunyai kaitan erat dengan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit geostasioner yang merupakan sumber daya alam yang terbatas sehingga pemanfaatannya perlu diatur secara efektif dan efisien;

7. pengembangan penyiaran diarahkan pada terciptanya siaran yang berkualitas, bermartabat, mampu menyerap, dan merefleksikan aspirasi masyarakat yang beraneka ragam, untuk meningkatkan daya tangkal masyarakat terhadap pengaruh buruk nilai budaya asing.


PASAL DEMI PASAL


Pasal 1


Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan pola jaringan yang adil dan terpadu adalah pencerminan adanya keseimbangan informasi antardaerah serta antara daerah dan pusat.



Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan diawasi adalah pelaksanaan tugas KPI dipantau dan dikontrol agar sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.


Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Pedoman perilaku penyiaran tersebut diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI.

Huruf c

Yang dimaksud dengan mengawasi pelaksanaan peraturan adalah mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh KPI.

Huruf d

Sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran.

Huruf e

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud memberikan kesempatan kepemilikan saham adalah pada saat-saat penjualan saham kepada publik.


Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan komunitasnya adalah komunitas yang berada dalam wilayah jangkauan daya pancar stasiun komunitas yang diizinkan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kode etik adalah pedoman perilaku penyelenggaraan penyiaran komunitas.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Yang dimaksud dengan diutamakan ialah diberikan prioritas kepada masyarakat di daerah itu atau yang berasal dari daerah itu. Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun hanya dapat diberikan kepada pihak dari luar daerah apabila masyarakat setempat tidak ada yang berminat.


Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan izin penyelenggaraan penyiaran dipindahtangankan kepada pihak lain, misalnya izin penyelenggaraan penyiaran yang diberikan kepada badan hukum tertentu, dijual, atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain.



Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Mata acara siaran yang berasal dari luar negeri diutamakan berkaitan dengan agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, olahraga, serta hiburan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan harus diberi teks bahasa Indonesia, hanya berlaku bagi jasa penyiaran televisi.

Ayat (2)

Pengaturan tentang film yang boleh disiarkan melalui media televisi disesuaikan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku tentang perfilman.

Ayat (3)

Yang dimaksud dalam ayat ini, hanya berlaku bagi jasa penyiaran televisi.


Pasal 40

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan pembatasan jenis siaran acara tetap adalah acara siaran warta berita, siaran musik yang penampilan tidak pantas, dan acara siaran olahraga yang memperagakan adegan sadis.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan hak siar adalah hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Ayat (8)

Cukup jelas

Ayat (9)

Cukup jelas

Ayat (10)

Cukup jelas

Ayat (11)

Yang dimaksud dengan sumber daya dalam negeri adalah pemeran dan latar belakang produk iklan, bersumber dari dalam negeri.

Pasal 47

Tanda lulus sensor yang dimaksud dalam Pasal ini, hanya berlaku bagi jasa penyiaran televisi.


Pasal 48

Cukup jelas


Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan hak jawab pada ayat ini sudah termasuk di dalamnya hak koreksi dan hak pembetulan atas kesalahan.

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 51

Cukup jelas

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pemantauan Lembaga Penyiaran adalah melakukan pengamatan terhadap penyelenggaraan siaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran.

Yang dimaksud dengan kegiatan literasi adalah kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 53

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban kepada Presiden mengenai pelaksanaan fungsi, wewe­nang, tugas, dan kewajiban disampaikan secara berkala sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan titik berat pada aspek administrasi dan keuangan; laporan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia meliputi pelaksanaan fungsi, wewe­nang, tugas, dan kewajiban KPI.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban kepada Gubernur mengenai pelaksanaan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajiban disampaikan secara berkala sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan titik berat pada aspek administrasi dan keuangan; laporan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi meliputi pelaksanaan fungsi, wewe­nang, tugas, dan kewajiban KPI Daerah.


Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57

Cukup jelas

Pasal 58

Cukup jelas

Pasal 59

Cukup jelas

Pasal 60

Cukup jelas

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Cukup jelas

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas