Visit Indonesia 2009

Welcome to Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia Provinsi Bali

Senin, 14 Juli 2008

Menyoal Kaukus Anti PP Penyiaran

Menyoal Kaukus Anti PP Penyiaran
Oleh Hidajanto Djamal


Silang pendapat antara pemerintah dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tampaknya tidak akan kunjung putus sebelum pemerintah takluk kepada kelompok itu untuk menyerahkan kewenangan menandatangani surat izin penyelenggaraan penyiaran.

Permasalahan yang terjadi sudah bergeser dari substansi pengaturan dunia penyiaran yang sebenarnya kepada perebutan kewenangan itu.

Sebetulnya tidak akan muncul gagasan membentuk sebuah kaukus yang disebut KUP (Kaukus untuk Penyiaran), pada 6 Februari 2006 lalu bila pemerintah langsung menyerahkan kewenangan itu kepada KPI. Kaukus sengaja didirikan oleh anasir-anasir KPI dan "kroni"-nya untuk menggalang opini guna menentang pemberlakuan PP Penyiaran.

Dalam kasus perseteruan pemerintah versus KPI, yang terus berlarut, terkesan sudah tidak ada lagi etika politik dan etika bernegara. Sebab, Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 tentang Judicial Review UU No. 32/2002 tentang Penyiaran sudah tidak dianggap lagi. Sudah jelas dalam amar putusan itu bahwa kewenangan penyusunan peraturan pemerintah (PP) untuk undang-undang tersebut dikembalikan kepada pemerintah sendiri karena bertentangan dengan UUD 1945 pada pasal yang mengatur kewenangan itu. Dalam kasus ini sudah mulai tampak bahwa dalam penyelenggaraan negara, fungsi-fungsi legislatif, dan eksekutif menjadi kabur.

DPR yang semula mempunyai tugas menyusun perundangan dalam tataran undang-undang, sudah mulai menginterfensi penyusunan peraturan perundangan pada tataran di bawahnya, yaitu PP, yang sejatinya berada dalam kewenangan pemerintah. Ini jelas sekali dari pernyataan salah seorang anggota Komisi I DPR RI (Republika, 10 Februari 2006), yang mengatakan bahwa Komisi I akan menunda pembahasan anggaran berikutnya untuk Depkominfo bila pemerintah tidak mencabut atau merevisi empat PP tentang Penyiaran yang telah diterbitkan pemerintah. Bila yang bersangkutan berbicara atas nama pribadi dan kemudian bergabung masuk dalam satu bentuk kaukus, itu sah-sah saja karena dalam kapasitas pribadi. Tetapi bila itu merupakan suara Komisi I, maka kentara sekali ada etika bernegara yang sudah kabur.

Sejatinya, dalam proses penyusunan PP Penyiaran, pemerintah telah melibatkan hampir semua unsur terkait, seperti unsur BEJ (Bursa Efek Jakarta) serta mitranya Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal), karena berkait dengan permodalan LPS agar skema penambahan modal yang digunakan LPS sesuai pasar. Berkait dengan urusan kepegawaian karyawan LPP, dilibatkan pula unsur Kementerian PAN (Pendayagunaan Aparatur Negara) dan BKN (Badan Kepegawaian Negara). Selain itu, unsur Lembaga Bahasa-Diknas dan Departemen Hukum dan HAM juga ikut dilibatkan karena berkait dengan penyusunan pasal-pasal agar mudah dipahami masyarakat secara umum dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan masukan dari LPS secara terpisah (bukan atas nama ATVSI dan PRSSNI) maupun dari KPI sendiri juga telah ditampungnya.

Dengan amar putusan MK yang diterbitkan tanggal 28 Juli 2004, maka kita semua, termasuk anggota KPI dan DPR, seharusnya tidak boleh lagi menoleh ke belakang. Yaitu, dengan mengatakan bahwa ketika era Menteri Syamsul Muarif, pihak KPI diajak bersama pemerintah untuk penyusunan PP tersebut, dan sebagainya. Atau bahkan mengklaim bahwa nama KPI berasal dari draft konsep miliknya yang diajukan ke DPR masa lalu. Kalau argumentasi terakhir ini yang dikemukakan, maka dapat saja dipertentangkan dengan UU No. 24/1997 tentang Penyiaran yang sudah digantikan oleh UU No. 32/2002. Di situ telah diatur adanya satu badan yang berfungsi persis dengan KPI dan juga beranggotakan 9 orang.

Dari sini bisa dibandingkan mana yang lebih demokratis karena dalam UU No. 24/1997 badan tersebut beranggotakan seluruh unsur masyarakat, termasuk tokoh agama, tokoh pendidik, psikolog , dan tokoh masyarakat lainnya. Sementara di KPI sekarang sesuai UU No. 32/2002, yakni enam dari sembilan anggota berasal dari unsur perguruan tinggi yang tidak ada kaitannya dengan urusan pedagogik. Tetapi, ya sudah, sebaiknya hal itu dikesampingkan, toh pada kenyataannya UU No. 24/1997 telah digantikan oleh UU No. 32/2002. Jadi dalam hal ini, memang tidak ada pemikiran yang betul-betul orisinal. Masa invention sudah lewat zamannya.

Sebaiknya dalam membahas masalah penyiaran, pembahasan yang dilakukan dimulai sejak Amar Putusan MK tentang Judicial Review UU No.. 32/2002 tanggal 28 Juli 2004. Harus dihindari upaya untuk melihat kasus ke belakang lagi. Meski demikian, pantas diapresiasi, ada salah satu dari sembilan anggota KPI yang dengan tulus menyatakan tidak akan mengoreksi habis-habisan substansi PP. Yang bersangkutan malah meminta agar peraturan perundangan yang sudah ada, termasuk PP yang sudah diturunkan, biarlah berjalan dulu untuk dilihat hasilnya.

Memang benar bahwa terkait dengan kebijakan penyiaran, pemerintah sejauh ini baru melakukan pembatasan jam siaran dalam kerangka penghematan energi secara nasional. Sementara KPI telah melayangkan surat keberatan ke Kedubes Malaysia dalam kaitan perampasan kaset rekaman salah satu stasiun TV nasional kita (14 Februari 2005). Kemudian KPID Jawa Tengah memberlakukan retribusi sebesar Rp 500 ribu terkait dengan pendaftaran ulang izin penyiaran Radio FM (24 Desember 2004), walaupun kemudian segera dicabut. Kedua langkah KPI di atas berada di luar kewenangannya atau, tegasnya, menyalahi aturan.

Yang agak ganjil, mengapa pihak-pihak yang tidak terkait langsung dengan penyiaran ikut-ikutan kebakaran jenggot? Padahal, mereka tidak terlibat langsung bagaimana paket produksi itu dilaksanakan, bagaimana menyusun pola acara keseharian, bagaimana mengurus tenaga profesional agar dapat bekerja secara profesional, dan sebagainya?

Sementara pihak yang dikenai aturan malah menyatakan sikap mendesak Depkominfo agar segera memberlakukan PP No. 50/2005 tentang LPS (yang ditetapkan 12 Desember 2005). Mereka adalah Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Radio Siaran Swasta Indonesia (ARSSI), Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia (ARSSLI), Forum Radio Jaringan Indonesia (FRJI), Komunitas Televisi Indonesia (KTI), Asosiasi Pelayanan Radio Indonesia (APRI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATLI), dan Persatuan Sulih Suara Indonesia (PSSI). Keinginan mereka dituangkan dalam surat resmi dengan ditandatangani oleh ketua atau sekjen asosiasi masing-masing.

Sekali lagi, sangat disayangkan beberapa anggota DPR terhormat, khususnya anggota Komisi I, bersedia bergabung dengan kelompok "frustrasi" itu. Sekali lagi, kalau kewenangan "menandatangani" surat izin penyelenggaraan siaran itu berada di tangan KPI, apa bedanya dengan Departemen Penerangan tempo doeloe dengan kewenangan yang tak terbatas di bidang penyiaran dan pers? ***

Penulis adalah dosen Fakultas Teknik dan
Sains-Universitas Nasional.

(Kamis, 16 Februari 2006/Red - ARSSLI Provinsi Bali 15 Juli 2008)

Tidak ada komentar: