Visit Indonesia 2009

Welcome to Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia Provinsi Bali

Kamis, 10 Juli 2008

Distorsi Media di Ruang Publik Kita

Beberapa waktu yang lalu, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan telah mengirim surat edaran resmi berupa imbauan kepada seluruh lembaga penyiaran di Sulawesi Selatan.

Isinya seputar ramainya perbincangan dan pemberitaan tentang rencana penerbitan Majalah Playboy edisi Indonesia. Dalam hal ini, KPID Sulsel mengimbau agar dalam pembuatan programnya, baik faktual maupun non-faktual, lembaga penyiaran di Sulawesi Selatan memperhatikan rasa susila masyarakat dan nilai-nilai agama serta menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian, dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Selain itu, lembaga penyiaran di Sulawesi Selatan agar memberi kesempatan kepada masyarakat seluas-luasnya untuk mengemukakan pendapatnya tentang rencana penerbitan Majalah Playboy edisi Indonesia. Lebih khusus, lembaga penyiaran agar memperhatikan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran).
Surat imbauan KPID Sulsel itu tentu dibuat bukan tanpa alasan. Sejak berembusnya angin kebebasan pers, dunia pers di Indonesia seolah menemukan dunianya dan berkembang tanpa kendali. Dengan alasan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, pers kita cenderung ‘kebablasan’. Bisa saja terjadi, media penyiaran di Sulawesi Selatan ditunggangi oleh pihak tertentu yang mengakibatkan independensi media menjadi terancam. Pemberitaan pun menjadi tidak berimbang.
Harus diakui, kebebasan berekspresi adalah fitrah manusia, yakni nilai-nilai kebenaran. Dengan adanya kebebasan berekspresi berarti ada kebenaran yang ingin diungkap. Tetapi harus diingat bahwa di balik kebebasan berekspresi itu juga ada tanggung jawab sosial yang menuntut pers agar memiliki peran yang sangat besar sama dengan institusi lainnya, yaitu menjaga keseimbangan.

Salah satu industri pers kita yang telah berkembang demikian pesat adalah industri televisi. Sejak berdirinya stasiun televisi swasta pertama di Indonesia pada tahun 1989, yaitu RCTI, televisi telah begitu akrab dengan keseharian masyarakat Indonesia. Kehadiran televisi memang sangat populer di kalangan masyarakat. Rasa-rasanya sebuah keluarga belum lengkap ketika di dalam ruang keluarganya belum ada televisi. Salah satu kelebihan yang dimiliki media televisi adalah kemampuan audio visual-nya.
Namun di Indonesia masih terdapat ketimpangan antara nilai-nilai ideal sebuah tayangan televisi dengan tuntutan pasar yang harus dihadapi oleh para praktisi penyiaran. State regulation yang mengedepankan nilai-nilai ideal menghendaki media sebagai industri dan alat pemersatu bangsa, pelestarian budaya, menghormati agama dan adat istiadat, serta melindungi khalayak khusus yaitu remaja dan anak-anak. Artinya, media penyiaran harus memperlakukan khalayak sebagai citizen karena memakai ranah publik (public domain) berupa frekuensi dalam menyasar target melalui program-programnya.
Globalisasi ekonomi dan reformasi politik menyebabkan runtuhnya state regulation dan menangnya market regulation. Media telah menjadi industri dan instrumen kapitalisme global dengan logika never ending circuit of capital accumulation dan rumus M-C-M (Money-Commodities-More Money). Akibatnya terjadi disfungsi media, di mana fungsi hiburan sangat besar karena di sini domain kapitalisme semu akan lebih leluasa meraup keuntungan. Sementara fungsi lainnya menjadi mengecil, yakni fungsi pendidikan, koreksi, dan informasi.

Distorsi Media

Tak heran jika selalu terjadi tarik-menarik antara dua regulasi itu. Dalam hal pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran, misalnya, DPR bersikukuh agar pemerintah tidak memberlakukan empat PP Penyiaran Nomor 49, 50, 51, dan 52 Tahun 2005. Alasannya, pemberlakuan empat PP itu akan mengakibatkan kegiatan penyiaran diberangus dan tidak lagi menjadi public domain. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun mendukung langkah DPR itu.

Yang mengherankan, pemberlakuan itu didukung oleh Forum Organisasi Penyiaran Indonesia (FOPI) yang merupakan gabungan organisasi seperti Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), KomTV, Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia (ARSSLI), dan Asosiasi Sulih Suara Indonesia. Jelas, PP Penyiaran, khususnya PP Nomor 50 Tahun 2005, menjadi kuat karena dukungan industri. Pemerintah dan asosiasi ingin menariknya ke commercial domain.

Kekhawatiran anggota DPR dan KPI yang didukung pula oleh Dewan Pers, Yayasan SET, dan AJI itu bermuara pada satu hal, yakni bahwa media penyiaran merupakan salah satu medium ruang publik. Jadi, ini jelas perlindungan kepentingan publik yang sering dianggap tidak penting oleh media penyiaran. Konsepnya adalah public trustee. Media penyiaran hanya mengelola ranah publik yang dipinjamkan berupa izin untuk penyelenggaraan penyiaran dan pemakaian frekuensi sesuai dengan undang-undang. Pemanfaatannya harus sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

Idealnya, ruang publik mencakup ranah-ranah kultural, sosial, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Dalam ruang publik juga memungkinkan para warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara deskursif, berinteraksi, bertukar pikiran, dan berdebat tentang masalah-masalah publik tanpa intervensi. Masyarakat berperan sebagai ‘komunitas’ (community), bukan sekadar ‘kerumunan’ (crowd).

Corak ruang publik itu sendiri sangat ditentukan oleh sosok-sosok kekuasaan berupa kekuasaan bisnis, pemerintah militer, agama, sains atau teknologi, partai politik, tren global, lembaga masyarakat, dan media. Dalam perkembangannya, industri penyiaran menjadi besar dan memiliki banyak kepentingan, salah satunya kepentingan finansial. Sehingga, yang terjadi adalah keprimeran tujuan ekonomi daripada tujuan publik. Mereka berlindung di balik kebebasan pers. Media penyiaran sebagai salah satu medium ruang publik (public domain) telah berubah menjadi commercial domain.

Ada beberapa alasan mengapa ruang publik media penyiaran itu tidak lagi menjadi ruang publik. Isi media lebih mengikuti logika rating yang berujung pada keseluruhan fungsi media semata-mata untuk keuntungan media. Khalayak dipandang sebagai consumer dan audiens ‘kepala batu’ (abstinate audience). Media penyiaran telah memperlakukan khalayaknya bukan lagi sebagai citizen, tetapi sebagai consumer. Logika yang dianut adalah logika pasar, di mana program yang dibuat harus memenuhi tiga hal, yakni menguntungkan (profitable), layak jual (sealable), dan mudah dipasarkan (marketable).

Ruang Publik yang Cedera

Menurut penelitian Nielsen Media Research, belanja iklan nasional terus meningkat dari tahun ke tahun dan lebih dari 64 persen di antaranya lari ke televisi. Belanja iklan tahun 2005 mencapai Rp22,21 triliun atau tumbuh 5 persen dari tahun 2004. Penelitian itu dilakukan terhadap 75 koran, 132 majalah dan tabloid, dan 16 televisi. Hasilnya, dari jumlah itu belanja iklan terserap ke televisi sebanyak 70 persen atau Rp16,22 triliun, koran 26 persen atau Rp6,01 triliun, sementara untuk majalah dan tabloid sebanyak 5 persen atau Rp1,09 triliun.

Tentu saja angka itu menggiurkan. Setiap stasiun televisi (swasta) berlomba-lomba membuat program, baik faktual maupun non-faktual, yang benar-benar layak jual. Production house (PH) dan agen iklan pun mempunyai prinsip yang sama. Tak heran jika terjadi ’mafia’ di lingkaran industri televisi. Dalam perbincangan saya dengan salah seorang pekerja sinetron di ibukota, terungkap bahwa industri televisi di tanah air membutuhkan sekitar 40 film dan sinetron per bulan. Padahal sutradara yang mumpuni di negeri ini hanya 8 orang dan hanya mampu menghasilkan 2 film atau sinetron per bulan. Tentu saja masih jauh dari kebutuhan. Dan, masih menurut pekerja sinetron itu, untuk memenuhi kebutuhan industri televisi itu, pekerja asing pun dilibatkan. Padahal biaya untuk membayar pekerja asing sangat besar, mencapai Rp65 juta per hari (day shoot) di luar biaya akomodasi.

Di sisi lain terjadi degradasi idealisme pers akibat terpaan pragmatisme media sebagai industri, dengan asumsi pers harus bertahan hidup dan berkembang. Maka siapa saja yang mau beriklan dengan content iklan seperti apa saja dibolehkan, yang penting dapat mencapai target, bahkan kalau bisa melebihi target. Sehingga lahir istilah ‘berita layak jual’ atau istilah lainnya ‘bad news is good news’. Istilah pers sebagai ‘suara malaikat’, ‘pembawa kebenaran’, ‘pembela rakyat’, dan banyak lagi harapan kita, menjadi disangsikan.

Juga masalah capacity building pers, di mana kemampuan wartawan merekonstruksi kenyataan mengalami pendangkalan akibat kemampuan reportase yang tidak berimbang dengan konteks isu yang akan dieksplorasi. Distorsi tidak sengaja antara kapasitas wartawan dan luasnya masalah yang akan dilaporkan tidak berimbang, sehingga tidak ada kedalaman.

Kita pantas prihatin. Ruang publik semakin terbuka luas untuk dicederai setiap saat. Akibatnya akan mencederai komitmen untuk membangun moral bangsa serta semakin jauh dari arah penyiaran yang tertuang dalam UU Penyiaran, yang menyebutkan bahwa penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Meminjam kekhawatiran Pulitzer; "Ketika komersialisme telah menjadi tujuan utama dalam industri media, maka saat itu media kehilangan kekuatan moral". **

Sumber : M Hidayat Nahwi Rasul, Wakil Ketua KPID Sulsel

(Dikutip dari KPI - Kamis, 16 Februari 2006 / Red - ARSSLI Minggu, 6 Juli 2008)

Tidak ada komentar: